Do'a Mohon di terangkan hati

دعاء نور القلب

اللهمّ يامن هو في علوّه كائن, يامن هو في علمه محيط, يامن هو في لطفه شريف, يامن هو في فعله حميد, يا من هو في ذاته قديم, يامن هو في مجده منير. اللهمّ اكرمنا منك بنورالفهم وأخرجنا من ظلمات الوهم وارزقنا فهم النّبيّين وحفظ المرسلين والهام ملئكة المقرّبين برحمتك ياارحم الراحمين .

Read more


Shalawat Jibril

صلواة جبريل

اللهمّ صلّ على سيّدنا جبريل وميكائيل واسرافيل وعزرائيل وحملة العرش وعلى الملئكة المقرّبين وعلى جميع الانبياء والمرسلين, صلواة الله وسلامه عليهم اجمعين

Read more


"Ada Apa dengan Sufi" (Martin Lings)

Judul buku ini merupakan sebuah pertanyaan, yang menandakan adanya minat yang mendalam dan bersifat pencarian terhadap hal-hal yang bernuansa spiritual.. Martin Lings mencoba mengupas tiga pertanyaan : 1). Apa yang diyakini dalam Tasawuf?, 2). Apakah yang mereka arahkan ?. 3). Apakah yang mereka lakukan. Masing-masing dari jawaban ini berangkat dari sisi yang berbeda namun semuanya memuncak pada akar persoalan. Martin Lings mengupas pembahasan ini ke dalam 9 Bab.

Bab. I. Membahas tentang Orisinilitas Tasawuf. Menurutnya Tasawuf adalah sejenis mistisisme, terutama berbicara tentang misteri-misteri kerajaan langit – surgawi.karena itu tidak salah jika dikatakan , menurut bayangan kita, bahwa seorang mistikus adalah ibarat pohon-pohon yang ada dikebun. Pohon-pohon itu adalah jiwa-jiwa, dan salahsatu dari pohon itu adalah seseorang yang telah terbebaskan dalam kehidupan, orang yang telah mencapai maqam tertinggi.Tasawuf merupakan bidang , disiplin, dan ilmu pengetahuan tentang penenggelaman pada gerak surut dari salahsatu gelombang samudra Tuhan dan bergerak bersamanya kembali pada sumbernya yang Abadi dan Tak Terbatas.[1] Dalam hal ini Tasawuf adalah sebuah jalan dan sarana yang menancapkan akar melalui celah sempit dalam kedalaman jiwa menuju medan ruh murni dan merdeka yang membuka diri pada keilahian. Seorang sufi memiliki dua kesadaran , yaitu satu bersifat manusiawi dan satu lagi bersifat ilahi.

Menurut Martin lings, Tasawuf tidak lain adalah mistisisme Islam, yang berarti bahwa ia merupakan pusat dan arus yang paling kuat dari gelombang pasang yang memuat wahyu Islam. Bahkan ia katakan bahwa Tasawuf adalah otentik sekaligus efektual. Dia berbeda dengan orang di dunia barat yang mengatakan bahwa Tasawuf tidak terikat dengan agama tertentu.[2]

Bab.II. Membahas tentang universalitas tasawuf dalam Islam. Penulis buku ini mencontohkannya dengan bangunan-bangunan bersejarah dalam Islam yang memiliki kekhasan dan partikulasi yang sama di berbagai tempat. Penulis katakan bahwa partikulasi dan kekhasan sepenuhnya cocok dengan universalitas.[3] Artinya, universalitas tasawuf tidak berarti menghilangkan sisi kekhususan dan partikulasi. Contoh dari karya seni itu adalah, Masjid di Cordova, Madrasah Agung di Samarkand, Pusara wali Maghribi atau di Turkistan China, Tajmahal di India. Smuanya seolah-olah satu dan cahaya yang sama memancar dari seluruh karya seni ini. Pada saat yang sama, yang demikian merupakan universalitas monumem-monumen agung Islam dimana dengan kehadiran salahsatunya kita merasakan seolah-olah berada di pusat bumi.

Semua mistisisme adalah sama-sama universal dalam pengertian yang lebih luas, karena semua mistisisme menuju kepada Yang Maha Kebenaran. Tetapi ciri-ciri orisinilitas Islam, dan karena ini ciri Tasawuf adalah apa yang disebut universalitas sekunder, yang harus dijelaskan terutama oleh fakta bahwa sebagai wahyu terakhir dari lingkup waktu ini, ia dengan sendirinya merupakan sesuatu rangkuman. Dimana kredo Islam dinyatakan oleh al-Qur’an dengan rukun Iman. [4]Keuniversalan Tasawuf dalam Islam dibuktikan dengan karakter al-Qur’an sebagai wahyu terakhir adalah kadang-kadang ia menjadi transfaran sehingga wahyu pertama bisa menampakan cahayanya pada setiap ayat al-Qur’an. Sedangkan wahyu pertama, yaitu kitab penciptaan, menjadi milik semua orang. Untuk menghormati kitab ini , mukjizat nabi Muhammad-tidak seperti mukjizat Nabi Musa dan nabi Isa-tidak pernah dibiarkan berkuasa di atas panggung. Tidak diragukan lagi, karena aspek universalitas inilah al-Qur’an menyatakan kepada ummat Islam seluruhnya : “ Kami jadikan kalian semua sebagai umat pertengahan,”(Q.S. Al-Baqarah :143) bahkan penulis buku mengatakan bahwa tasawuf Islam sebagai jembatan antara Timur dan Barat .[5]

Bab.III. Jika pada bab I dikatakan bahwa tasawuf merupakan bidang , disiplin, dan ilmu pengetahuan tentang penenggelaman pada gerak surut dari salahsatu gelombang samudra Tuhan, maka pada Bab III ini martin lings mencoba menjelaskan apa sebenarnya gelombang pasang itu? Menurutnya, gelombang pasang itu adalah Kitab Al-qur’an. Kaum sufi berbicara tentang upaya tenggelam (istigraq) dalam ayat-ayat al-Qur’an, yang menurut salahsatu doktrin Islam paling fundamental, merupakan kalimat Tuhan Yang Tak Diciptakan. Al-Qur’an adalah sebuah kitab bagi seluruh masyarakat, bahkan al-Qur’an mencapai aspek ganda dalam cara yang berbeda. Pertama, Al-Qur’an penuh dengan ayat-ayat terbuka yang memang bisa-dan memang harus-diterapkan oleh semua orang beriman terhadap dirinya. Kedua , Al-Qur’an menegaskan dirinya sebagai al-Furqan, yang dapat diartikan “patokan nilai”, perangkat pemilah atau sederhananya”pembeda”. Ciri esensial al-Qur’an adalah pembentukan sebuah hirarki nilai yang dapat berperan sebagai patokan untuk meletakkan segala sesuatu pada tempatnya yang layak dan sebagai dasar umum penarikan kesimpulan. Pada bab ini penulis menyertakan ayat-ayat al-Qur’an yang dijadikan rujukan para sufi.

Bab IV. Pada bab ini, penulis membahas sosok sufi yang ideal, yang sejalan dengan al-Qur’an. Sosok itu tiada lain adalah Muhammad Saw. Menurutnya Muhammad adalah sebuah inkarnasi dari kitab suci yang diwahyukan. Aspek penting dari pararelisme al-Qur’an dengan Muhammad jelas terlihat dalam penetrasinya yang berdaya jangkau jauh, masing-masing mengesankan suatu gelombang daya dorong yang besar, yang mengalir begitu jauh kedaratan. Bukti otentik keberhasilan Muhammad mendalami al-Qur’an adalah adanya peristiwa isra’Mi’raj.

Bagi seorang sufi yang menempuh gelombang Tuhan, selayaknya untuk meneladani prilaku Nabi Muhammad Saw. Adapaun cara lain untuk menyelam dalam hakikat nabi adalah menyebut nama-nama beliau serta lagu-lagu pujian yang disematkan kepada beliau. Tetapi cara lain yang paling lansung dari semuanya adalah menekuni secara khusus atas satu dari sekian banyak nama, zikr Allah, mengingat Allah, dan dengan menjadi seperti beliau, yaitu personifikasi dari segala yang tersirat dalam seluruh nama tersebut.

Bab V. Pada bab ini penulis membahas tentang hati sebagai Pusat jiwa. Dia katakan bahwa hati bisa dianggap sebagai padanan kata ruh (spirit), yang sama-sama memiliki aspek Ilahi sekaligus juga aspek kemakhlukan. Salahsatu simbol agung ruh adalah matahari yang merupakan “hati” jagad kita. Hati bertalian dengan pusat taman tempat tumbuhnya pohon kehidupan dan tempat sumber kehidupan mengalir.

Pada bab ini penulis mencoba membedakan antara keyakinan dan pendirian yang sama-sama berada diruang hati. Ia katakan bahwa pendirian bersifat tidak langsung dan milik pikiran, sebagai hasil dari proses atau olah mental murni seperti argumen. Sementara keyakinan, selamanya bersifat langsung dan milik puncak segitiga. Ia dapat begitu saja menjadi hasil persepsi indrawi. Selanjutnya ia menjelaskan tentang tiga tingkatan keyakinan, Pertama, ilmul yakin (ilmu keyakinan), kedua ainul yakin (Mata keyakinan) dan ketiga haqqul yakin (kebenaran keyakinan). Ilmu adalah keyakinan yang berasal dari mendengar api sebagaimana diceritakan; Mata adalah keyakinan yang timbul karena melihat nyalanya; kebenaran adalah keyakinan yang lahir karena terbakar di dalamnya. Tingkatan terakhir merupakan keluruhan (fana) semua yang lain; sementara peluruhan itu sendiri memberikan realisasi dari sang Identitas Tertinggi. Tingkatan kedua adalah keyakinan yang datang dari pengetahuan hati, karena mata yang melihat adalah hati itu. Adapun ilmu, merupakan suatu pemahaman mental yang telah diangkat ke taraf keyakinan oleh daya-daya intuisi yang mengitari hati. Dan itu merupakan salahsatu diantara fungsi-fungsi doktrin untuk membangkitkan daya-daya ini serta menjadikannya operatif.

Bab VI. Doktrin. Seluruh doktrin berhubungan dengan pikiran. Tetapi doktrin mistik , yang bisa disamakan dengan ilmu yakin merupakan panggilan pada pikiran untuk mentransendensikan dirinya sendiri. Nama Allah merupakan sintesis dari seluruh kebenaran dan karena itu merupakan akar seluruh doktrin, dan ia juga yang menawarkan keyakinan kepada hati dan segenap elemen jiwa yang paling dekat dengan hati, Tetapi sebagai sebuah sintesis, ia tidak bisa menemukan – dalam dirinya sendiri-kebutuhan-kebutuhan pikiran. Agar seluruh intelejensi yang meliputi pikiran bisa ambil bagian di jalan spiritual, nama tersebut seolah-olah mengulurkan tangan pada daya mental, sebuah perluasan dirinya sendiri yang memberi pengetahuan dan keyakinan terhadap daya-daya tersebut- disamping menjadi sintesis- dan yang memiliki aspek analitis dimana daya-daya tersebut dapat bekerja di atasnya. Perluasan nama ini adalah persaksian (syahadah) yang diwahyukan secara ilahiyah bahwa tidak ada tuhan selain Allah (la Ilaaha Illa Allah).

Syahadah tidak hanya membenarkan doktrin ini dengan menyatakan bahwa selama sesuatu itu haq, maka ia bersifat ilahiyah, sehingga tidak ada yang realitas kecuali Realitas. Syahadah ini pun, dalam urutan verbalnya, merentang hirarki lima lipat. Dalam formula “Laa ilaaha illa Allah”, masing-masing dari keempat kata tersebut menyatakan suatu derajat, dan huruf “ha” terakhir adalah Nama Allah yang melambangkan Sang Diri (Huwa). Ini bisa diulas dengan menyatakan, dari sudut pandang spiritual, bahwa kata yang pertama adalah sebagai cahaya kebenaran yang mencampakkan dunia material untuk mengimbangi ilusi bahwa disinilah hakikat dalam derajat tertinggi’ dan untuk berfihak kepada jiwa sebagai rambu bukan di jalur ini. Kata kedua bisa diartikan dengan dunia jiwa-jiwa yang merupakan titik berbahaya dalam hal kemusyrikan. Kata kedua dalam syahadah’ menunjukkan suatu keilahian terpendam yang terletak diantara dua pintu tertutup, satu terkunci dan satu tidak, yaitu antara “tidak” (la’) yang mutlak di satu sisi dan tidak di sisi lain Yang bersyarat (secara harfiah berarti : Jika Tidak) yang sama dengan yang bersyarat , yaitu kata ketiga, yang berarti hati. Hati serta para malaikat, yang merupakan kehadiran ketiga merupakan , sesungguhnya menengahi atas nama jiwa, tetapi kata sambung “tetapi” atau “kecuali”. Kata “illa” ibarat nafas jeda, suatu pelepasan dari belenggu bentuk-bentuk yang beku, seraya menunjukkan jalan menuju penyelesaian terakhir kata keempat, yang menyatakan dua kehadiran tertinggi. Dengan demikian Syahadah merupakan pelindung atau penangkal dalam bimbingan, sebab ia mencegah jiwa dari kekeliruan sementara ia sendiri. Dalam aliran kata-katanya, adalah gerak kompulsif dari keadaan sulit dalam semata kesejatian menuju kedamaian Aktualitas.

Kelima kehadiran Ilahi tidak bertentangan dengan kesatuannya, yaitu kesatuan Wujud, karena selamanya merupakan kehadiran yang sama. Walaupun demikian, dari titik pandang Hakikat Mutlak, kelimaan (fiveness) itu merupakan suatu ilusi sebab dari titik pandang ini jenjang hirarki itu telah tergulung, seperti tergulungnya selembar kertas tulis. Shahadat mengungkapkan kedua titik pandang itu, baik yang relatif maupun yang absolut, dalam substansi asasinya. Huruf-hurufnya terkristalkan ke dalam kata-kata yang bisa disamakan dengan derajat-derajat hirarki yang berbeda.Tetapi, jika kata-kata itu dicairkan ke dalam huruf-huruf yang dikandungnya, kita jumpai bahwa tak ada huruf-huruf selain alif, lam, dan ha. Dan ini merupakan huruf-huruf dalam nama tertinggi.

Nyaris dengan cara yang sama , bahwa kendati pikiran sejauh mungkin harus dikuasai, kebingungan senantiasa mengintai, yang setiap saat siap menyergap. Tidak sebaliknya, karena ada urutan yang mesti diikuti dalam tasawuf: doktrin, pemahaman, kebingungan, pencerahan-benih, batang, kelopak, kembang. Kelopak kebingungan (hayrah) yang tertutup rapat akan terbuka, bila diberi kndisi-kondisi yang tepat, menjadi kembang ketakjuban (tahayyur). Sebagaimana jelas dalam ungkapan Syekh al-Darqawi tentang kebingungan, apa yang dalam pandangan orang yang bingungtampak merupakan akhir pada faktanya adalah pintu terbuka, yang melalui pintu ini bantuan memadai bagi kebutuhannya akan muncul.bantuan yang pertama mesti diharapkan adalah pencerahan dalam bentuk guru spiritual.

Bab VII. Metode. Dalam hadits kudsi dikatakan : “ tak ada yang lebih menyenangkan-Ku, sebagai cara bagi hamba-Ku untuk mendekat kepada-Ku kecuali ibadah yag telah Aku wajibkan atasnya, dan hambaku tak henti-hentinya mendekati Aku dengan amalan-amalan sunnah yang dikehendakinya sendiri, sehingga Aku mencintainya, dan manakala aku mencintainya, aku menjadi pendengarannya yang dengan itu dia mendengar, dan menjadi penglihatannya yang dengan itu ia melihat, dan menjadi tangannya yang dengan itu dia menggenggam, dan menjadi kakinya yang dengan itu dia melangkah”.

Tasawuf secara keseluruhan-aspirasi,amalan, dan dalam beberpa hal bahkan pula doktrinnya-terhimpun dalam hadits ini, yang barangkali lebih sering dikutif para sufi daripada teks manapun selain al-Qur’an.Seperti terlihat dari hadits kudsi ini, amalan-amalan sufi terdiri dari dua macam: ritus-ritus yang diwajibkan kepada semua muslim dan ritus-ritus tambanahn yang bersifat sukarela (sunnah).

Hal pertama yang mesti dilakukan seorang sufi pemula adalah mempelajari dimensi ekstra/dimensi eksoteris yang akan membukakan kedalaman dan ketinggian dari ritus-ritus yang telah ia jalankan. Yakni rukun Islam yang Lima. Diantara amalan lain yang tidak kalah pentingnya yang harus dilakukan sufi adalah puji-pujian dengan nama Allah, pembacaan al-Qur’an, memaknai setiap kewajiban yang dilakukan dalam arti tidak hanya mengedepankan nilai eksoterik akan tetapi nilai esoterisnya harus dimunculkan. Formula puji-pujian ini merupakan suatu ekspresi kebenaran. Fikir dan zikir harus senantiasa ada pada diri seorang sufi.

Amalan-amalan tasawuf memang sepantasnya beragam, agar menjangkau keserbaragaman serta kepelikan jiwa manusia, yang setiap unsurnya harus diisi dengan keikhlasan dalam kedua aspeknya. Ridwan, keridoan, itu saling berkaitan, dan keikhlasan tidak lain daripada ridla sang manusia, yang tanpa itu tidak akan ada Ridwan Ilahi.

Bab VIII. Ekslusivisme Tasawuf. Aspek-aspek tertentu dari struktur Islam sungguh bermanfaat bagi kekhasan –kekhasan yang menjadi tema bab ini. Pembedaan tegas antara yang wajib dan yang sunnah yang dalam beberapa hal sejalan dengan pembedan antara kelompok kanan dan perintis, artinya antara keselamatan dan penyucian, yang menyiratkan pula pembedaan antara tanggngjawab eksoterik dan esoterik. Bagi kalangan mayoritas disediakan suatu syariat minimum yang dirumuskan dengan jelas sebagai ukuran keselamatan, sedang tanggungjawab pada ahli hukum dan ahli kalam terletak dalam wilayah ini. Dengan demikian para mistikus Islami-dan tak pelak lagi sebagain karena inilah, warisan mereka memperoleh kembali ketinggian serta kedalamannya-dibebaskan dari upaya menarik pengikut dan penyampaian ajaran dalam pengertian yang lazim, dan bebas pula untuk menganut-kadang kalau meski tak selalu-suatu titik pijak yang sepenuhnya ekslusif, sedemikian hingga menyatakan :” Hayatilah tasawuf dengan sungguh-sungguh dan mendalam, atau tinggalkanlah ia”

Keekslusifan adalah suatu cara pendalaman, karena menunjuk sebuah teluk yang tak ubahnya menentang manusia untuk menyebranginya. Dan bagi beberapa jiwa, tantangan semacam ini bisa lebih bernilai daripada suatu lapangan pekerjaan. Lagipula, pada umumnya, semakin dimuliakan suatu pendirian, semakin universalia, dan tak dapat diragukan lagi bahwa tersebarnya Islam di berbagai tempat tertentu-di India, misalnya-sebagian berkat pengagungan mistisismenya.

Bab. IX. Sufi Sepanjang Masa. Pada bab ini dibahas perkembangan sufi dari kemunculannya hingga abad modern. Dimulai sejak zaman Nabi, Hadits nabi penuh dengan ajaran-ajaran bersifat mistis yang menunjukan bahwa Muhammad, seperti yang diyakini para Sufi, sesungguhny adalah Syekh Sufi pertama. Menyusul wafatnya Nabi, para pewaris spiritualnya tetap berpegang teguh pada kesatuan sehingga zaman itu, kurun terbaik dalam zaman Nabi sendiri. Dengan teladan beliau yang masih segar dalam ingatan mereka, mau tidak mau mereka harus menerapkan pada diri mereka sendiri perintah al-Qur’an:”Rendahkanlah hatimu terhadap pengikut-pengikutmu yang beriman.” Generasi selanjutnya adalah para sahabat nabi yang tekenal dengan khulafaussaridin.

Sepeninggal keempat khalifah Rashidah ini, kekhalifahan menjadi urusan dinasty belaka, dan khalifah tetap memegang otoritas spiritual namun tidak lebih dari sekedar nama, sedang hakikatnya mulai pecah belah diantara hukum (faqih) , ahli kalam (mutakallimun) dan ahli Mistik (sufi), masing-masing dalam wilayahnya sendiri.

Seorang tokoh terkemuka kurun ini adalah Hasan Al-Bashri diteruskan oleh Habib al-‘Ajmi dari persia. Generasi selanjutnya adalah Rabi’ah al-Adawiyah dengan konsep Mahabbahnya. Al-Junaid, Abu Yazid al-Bustami, Ibn ‘Arabi, Alghazali, al-Hallaj, dll.

Banyak diantara para syekh yang membentuk jalinan –jalinan dari salahsatu rantai spiritual, yang terbentang dari abad XVIII hingga abad XIV dan sebelumnya , telah meninggalkan berbagai tulisan yang hanya terdapat dalam sejumlah kecil naskah, dan sejauh ini tak dikenal para sarjana Barat. Namun ada Isyarat-isyarat bahwa kini berbagai upaya dilancarkan di Timur maupun Barat untuk menggali kembali sebagian warisan ini.



[1] Martin Lings, Ada Apa Dengan Sufi, hlm .3

[2] Ibid hlm. 9

[3] Ibid, hlm. 13-14

[4] Ibid, hlm 19.

[5] Ibid, hlm.20

Read more


Info Beasiswa S2 dan S3



DEPAG RI kembali memberikan beasiswa dan bantuan untuk dosen dan PTAI yang berada di bawah naungan kementerian agama untuk tahun 2010. Program beasiswa untuk sekarang di bagi menjadi dua bentuk bantuan kuliah S2 dan S3 dan sarana dan prasarana PTAI.

Berikut adalah 16 nama PT Penyelenggara dan Jurusan yang disediakan pada program beasiswa dosen 2010:


  • UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Kajian Islam (S2 dan S3)

  • UIN Sunan Gunung Djati Bandung: a. Religious Studies (S2); dan b. Ilmu Agama Islam (S2)

  • UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta: a. Pendidikan Islam (S2); b. Agama dan Filsafat (S2); c. SKI (S2); d. Hukum Islam (S2); e. Kependidikan Islam (S3)

  • UIN Maulana Malik Ibrahim Malang: Pembelajaran Bahasa Arab (S2 dan S3)

  • UIN Sunan Alauddin Makasar: Dirasah Islamiyah, Tafsir (S2 dan S3)

  • IAIN Sunan Ampel Surabaya: a. Hadits (S2); b. Pemikiran Islam (S2 dan S3);

  • IAIN Walisongo Semarang: a. Islamic Studies (S2 dan S3); b. Tasawuf (S2) c. Falak*) (S2)

  • IAIN Sumatera Utara: a. Komunikasi Islam (S2); b. Pemikiran Islam (S2); c. Pendidikan Islam (S2); d. Ekonomi Syari’ah (S2); e. Hukum Islam (S2)

  • Univ. Indonesia (UI): a. Ilmu Hukum (S2 dan S3); b. Ilmu Budaya (S2 dan S3); c. Saintek (S2 dan S3); d. Ekonomi ( S2 dan S3)

  • Univ. Gadjah Mada (UGM): a. Ilmu Hukum (S2 dan S3); b. Saintek (S2 dan S3); c. ICRS (S2 dan S3); d. Ekonomi (S2 dan S3); e. CRCS (S2 dan S3)

  • Institut Teknologi Bandung (ITB): a. Astronomi (S2); b. Saintek (S2 dan S3)

  • Institut Pertanian Bogor (IPB): a. Statistik (S2 dan S3); b. Saintek (S2);

  • Universitas Pendidikan Indonesia (UPI): a. Bimbingan dan Konseling (S2 dan S3); b. Pend. Bahasa Indonesia (S2 dan S3) c. Pend. Bahasa Inggris (S2dan S3); d. Pendidikan Matematika (S2 dan S3)

  • Univ. Negeri Jakarta (UNJ): a. Evaluasi Pendidikan (S2); b. Pend. Bahasa Indonesia (S2 dan S3); c. Pend. Bahasa Inggris (S2 dan S3); d. Pendidikan Matematika (S2 dan S3)

  • Univ. Negeri Yogyakarta (UNY): a. Pend. Bahasa Indonesia (S2 dan S3); b. Pend. Bahasa Inggris (S2

  • dan S3); c. Pendidikan Matematika (S2 dan S3)

  • Univ. Negeri Malang (UM): a. Teknologi Pembelajaran (S2 dan S3); b. Bimbingan dan Konseling (S2 dan S3); c. Pend. Bahasa Indonesia (S2 dan S3); d. Pend. Bahasa Inggris (S2 dan S3); e. Pendidikan Matematika (S2 dan S3); f. Pendidikan Dikdas (S2); g. Psikologi Pendidikan (S3)

Kalo masuk situs depag agak lemot, tawaran, pengantar dan petunjuk teknis beasiswa dan bantuan sarana PTAI Kementerian Agama Tahun 2010dapat diunduh:






































No


Uraian Kegiatan


Waktu Pelaksanaan


1


Pendaftaran via-email dan pengiriman berkas


1-31 Mei 2010


2


Seleksi Administrasi


1-5 Juni 2010


3


Pengumuman Hasil Seleksi Administrasi


7 Juni 2010


4


Tes Tertulis S2 dan S3


22 Juni 2010


5


Pengumuman Keluluasan


Minggu II Juli 2010


6


Matrikulasi/Pra Pascasarjana/Kuliah


Disesuaikan dengan kelander akademik PT



Selamat berusaha, semoga anda termasuk salah seorang yang "lolos"! Amin!

Read more


Shalawat Naik Haji

اللهمّ صل على سيّدنا محمّد عدد الرّمل الرّقيق, صلا ة ترزقنا بها من اهل التّوفيق وتبلّغنا الى بيت العتيق وزيارة قبره وقبر ابي بكر الصّدّيق وصلى الله على سيّدنا محمّد الامّيّ وعلى اله وصحبه اجمعين

Read more


KAIDAH-KAIDAH FIKIH YANG BERKENAAN DENGAN ELASTISITAS HUKUM ISLAM

I. PENDAHULUAN
Allah SWT mengutus nabi Muhammad saw sebagai tuntunan syari’at bagi manusia dalam menempuh kehidupan dunia dan akhirat. Tuntunan yang diemban Muhammad ternyata berlaku universal, melampaui batas-batas ruang dan waktu. Setiap fenomena yang muncul dari setiap dinamika perilaku manusia baik sosial maupun kultural, ditetapkan hukum dan aturannya dengan tuntunan syari’at yang dibawanya.[2] Pada umumnya, secara pasti dan meyakinkan, berbagai peristiwa dan kejadian yang muncul dan terjadi merupakan sesuatu yang tidak dapat diukur dan dihitung. Sedangkan pada sisi yang lain, tidak semua peristiwa dapat ditetapkan langsung oleh dalil, karena hal itu sulit atau boleh dikatakan tidak mungkin terjadi, atau dengan kata lain dalil-dalil itu mempunyai batas-paling tidak dari segi turunnya- sedangkan peristiwa-peristiwa tidak mempunyai batas -peristiwa senantiasa terjadi dan baru- (Al-Nushush qad intaha wa al-waqa’i laa tantahi) [3] yang tidak terbatas tidak dapat dilingkupi oleh yang terbatas. Jika kenyataannya demikian, maka bisa dipastikan bahwa hukum itu akan senantiasa elastis dan fleksibel, sehingga ia dapat berkembang dan berubah sesuai dengan keadaan dan zamannya. Hal ini sangatlah berbeda dengan apa yang digambarkan orang-orang barat yang membenci Islam dan juga orang-orang Islam sendiri yang menyeleweng dan befikiran sempit, yang memandang Syari’at Islam sebagai sebuah sistem yang telah lapuk dan nanar karena usianya yang telah lanjut.[4] Hal ini bisa dibuktikan dengan menelusuri fakta sejarah peradaban Islam, dimana hukum Islam berkembang sesuai dengan perluasan wilayah Islam serta perkembangan budaya masyarakatnya[5]. Perkembangan hukum Islam itu sendiri berkembang dengan sendirinya. Hal ini disebabkan hukum secara internal berpeluang untuk diinterpretasikan dengan varian-varian dan tingkat yang berbeda-beda, sedangkan secara eksternal perkembangan hukum sangat dipengaruhi oleh situasi dan kondisi masyarakat dimana hukum itu diberlakukan.[6] Hukum Islam juga bersifat elastis, ia meliputi segala bidang lapangan kehidupan manusia. Permasalahan kemanusiaan, meliputi jasmani dan rohani, hubungan sesama makhluk, hubungan baik antara khalik dengan makhluk, serta tuntunan hidup di dunia dan akhirat terkandung dalam ajarannya. Oleh karena itu, hukum Islam menyentuh segala aspek kehidupan manusia dengan tetap tidak meninggalkan kesan hukum Islam sebagai dogma agama yang tidak liar menjauhi makna teks suci. Fakta historis yang telah berlangsung beberapa abad menunjukkan bahwa berlakunya hukum Islam sangat dipengaruhi oleh berubahnya pola fikir para mujtahid, seperti Imam Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali.[7] Berbagai produk ijtihad ulama-ulama tersebut kini banyak mewarnai corak berlakunya hukum Islam di berbagai wilayah Islam. Pada abad ke-3, hukum Islam mulai disistematisir dalam institusionalisasi mazhab-mazhab fiqh. Hal ini dilakukan dengan alasan politis dan sosiologis dimasa kekhalifahan Islam pasca Khulafa al-Rasyidin. Sehingga dalam perkembangan selanjutnya tahap pemikiran hukum Islam cenderung mengikuti apa yang telah berlaku sebelumnya.[8] Selanjutnya, Pada abad keempat berawal dari kecermatan para ulama ahli ushul dalam mengamati dalil-dalil kulli yang terdapat di dalam Nash yang menjelaskan prinsip-prinsip umum pembinaan syari’at, diikuti pengkajian yang mendalam (istiqra) ke arah aspek ‘illat hukum, hikmah syari’ah, rahasia hukum, dan analisis terhadap maqashid syari’ah dalam meletakkan mukallaf di bawah beban hukum(taklif), disusunlah kaidah hukum yang sangat mirip dengan “rumus-rumus fikih” (yang selanjutnya disebut kaidah fiqih[9]) agar dalam pengkajian syari’at senantiasa konsisten (taat asas) mewujudkan kemaslahatan hamba dan mencerminkan hukum adil.[10] Dalam makalah ini, penulis akan membahas tentang kaidah-kaidah yang berkenaan dengan elastisitas hukum Islam yang telah dirumuskan oleh para ulama, baik yang berkenaan dengan adanya perubahan waktu, tempat, kondisi dan niat. II. PEMBAHASAN A. Kaidah Umum tentang elastisitas Hukum Islam Ibn Qayyim al-Jauziyyah[11] memberikan kaidah yang berkaitan dengan perubahan hukum, yaitu: تغيّر الفتوى واختلافها بحسب تغيّر الازمنة والامكنة والاحوال والنّيات والفوائد (والعوائد) “Perubahan dan perbedaan fatwa hukum dapat terjadi karena perubahan waktu (zaman), ruang (tempat), kondisi (ahwal), niat dan manfaat” Kemudian kaidah lainya berbunyi: لاينكر تغيّر الاحكام بتغيّر الازمنة والامكنة “Tidak dipungkiri bahwa perubahan hukum disebabkan perubahan zaman dan tempat.” Dari dua kaidah di atas dengan jelas menyatakan bahwa fatwa hukum tidaklah kaku, akan tetapi ia bisa berubah- elastis dan fleksibel-sesuai dengan perubahan waktu, ruang, kondisi, niat dan manfaat yang ditimbulkan. Dari kaidah ini juga dapat dihasilkan turunan kaidah-kaidah yang lain yang lebih khusus sesuai dengan variabel atau unsur-unsur perubahannya. Selanjutnya penulis mencoba menguraikan kaidah-kaidah turunan yang berkaitan dengan perubahan hukum. A.1. Kaidah perubahan hukum yang berkenaan dengan Niat Kaidah umum yang berkaitan dengan niat: الامور بمقاصدها[12] “Setiap perkara tergantung pada tujuannya” Kaidah tersebut berdasar kepada Nash Al-Qur’an dan Sunnah Nabi ومن يرد ثواب الدّنيا نؤته منها ومن يرد ثواب الاخرة نؤته منها وسنجزى الشّكرين “barang siapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barang siapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat itu. dan Kami akan memberi Balasan kepada orang-orang yang bersyukur.”(Ali Imron: 145) Sabda nabi saw: انّماالاعمال بالنّية وانّما لكلّ امرء ما نوى “Sesungguhnya segala amal tergantung pada niat, dan sesungguhnya bagi seseorang itu hanyalah apa yang ia niatkan” Niat memiliki kedudukan yang sangat penting dalam suatu perbuatan, baik ibadah maupun non ibadah. sehingga muncul perbedaan pendapat dikalangan fuqaha tentang kedudukan niat sebagai syarat dan niat sebagai rukun.[13] Niat seseorang kadang-kadang dapat dilihat dari qarinah-qarinah yang dapat dijadikan alat untuk mengetahui niat. Misalnya seorang pemburu yang menembak binatang buruan di hutan yang ternyata kemudian mengenai manusia pencari kayu. Kategori ini tidak dapat dimasukkan pada pembunuhan sengaja, karena adanya sesuatu yang menjadi penghalang pada penglihatan terhadap binatang buruan tersebut yang mengakibatkan kesalahan. Terdapat banyak kaidah turunan yang berkenaan dengan niat, diantaranya: العبرة في العقود للمقاصد والمعاني لا للالفاظ والمباني[14] “yang dianggap (dipegang) dalam akad adalah maksud-maksud dan maknanya, bukan lafazh-lafadz dan bentuk lafadznya” Dimensi perubahan hukum yang terdapat pada kaidah di atas, misalnya apabila dalam suatu akad terjadi perbedaan antara niat atau maksud si pelaku akad dengan lafadz yang diucapkannya, maka yang harus dianggap adalah niat atau maksudnya, selama yang demikian itu masih diketahui. Oleh karena itu, jika ada dua orang yang mengadakan suatu akad dengan lafadz memberi suatu benda dengan syarat adanya pembayaran harga barang, maka akad itu dipandang sebagai akad jual beli, bukan akad pemberian sebagaimana yang dikehendaki oleh lafadz. A.2. Kaidah hukum yang berkenaan dengan waktu Sebagaimana telah disebutkan pada pembahasan di atas, bahwa perubahan waktu atau zaman merupakan salahsatu faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan hukum. Perubahan ini sesungguhnya berkaitan erat dengan kondisi-kondisi tertentu yang memungkinkan adanya perubahan hukum, misalnya kondisi yang menyulitkan (masyaqat), kondisi berbahaya (dharurat), atau budaya dan kultur (uruf). Diantara kaidah yang berkenaan dengan hal ini adalah: ما كان ممنوعا اذا جاز وجب[15] "Semua yang dilarang apabila diperbolehkan maka menjadi wajib” Dari kaidah itu dapat difahami bahwa sesuatu yang telah diwajibkan, tidak boleh ditinggalkan kecuali adanya sesuatu kewajiban lain yang mengharuskan untuk meninggalkannya. Misalnya memotong tangan pencuri, seandainya tidak wajib tentu hukumnya haram sebab memotong atau melukai adalah tindak pidana.[16] Disinilah nampak dimensi perubahan yang berkaitan dengan zaman dan waktu, dimana hukum dapat berlaku pada suatu ketika dan tidak berlaku pada saat yang lain. Kaidah lain yang berkaitan dengan perubahan hukum dalam dimensi perubahan waktu adalah: انّ الحكم الثّابت الى غاية ينتهى بوجود الغاية ولايبقى بعدها[17] “Sesungguhnya hukum yang berlaku dengan batas-batas tertentu, maka hukum itu berakhir setelah adanya batas akhir hukum, dan tidak ada lagi hukum setelahnya.” Kaidah ini menunjukkan dimensi perubahan hukum pada banyak persoalan, seperti ada kasus yang telah ditegaskan dalam al-Qur’an: وكلوا واشربوا حتّى يتبيّن لكم الخيط الابيض “Dan makan minumlah hingga terang bagimu benag putih” (Q.S. al-Baqarah:187) A.3. kaidah perubahan hukum yang berkaitan dengan ruang (tempat) Tempat atau ruang dapat menempati posisi sebagai salahsatu variabel perubahan hukum. Perubahan hukum karena perubahan tempat sering terjadi, misalnya perubahan hukum yang terdapat pada qaul qadim dan qaul jadid Imam Syafi’i, sebuah perubahan yang dikenal secara luas dikalangan pemerhati hukum. Diantara kaidah yang menunjukkan perubahan hukum karena perbedaan tempat adalah: العادة محكّمة[18] “Adat kebiasaan itu ditetapkan menjadi hukum” Kaidah ini diangkat karena ada kebiasaan erat kaitannya dengan dimensi ruang (tempat) dan waktu (zaman) kaidah ini sesuai dengan nash al-Qur’an dan sunnah, yakni: وأمر بالعرف واعرض عن الجاهلين “Dan suruhlah orang-orang mengerjakan yang ma’ruf serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh” (Al-A’raf:199) مارأه المسلمون حسنا فهو عند الله حسن “Apa yang dipandang baik oleh orang-orang Islam, maka baik pula disisi Allah” (H.R. Ahmad dari ibn Mas’ud) Kaidah lain yang berkenaan dengan perubahan ruang adalah: مقاصد اللفظ على نيّة اللافظ الاّ في موضع واحد وهو اليمين عند القاضى فانّها على نيّة القاضى[19] “ Maksud dari lafadz adalah menurut orang yang mengucapkannya, kecuali dalam satu tempat yakni dalam sumpah dihadapan qadhi (pengadilan). Dalam keadaan demikian, maka maksud lafadz adalah menurut niat qadhi” Kaidah tersebut menunjukkan dimensi perubahan hukum yang berkaitan dengan perubahan tempat, yakni dalam pengadilan. Misalnya: seorang suami memanggil istrinya yang bernama Thaliq- atau seorang tuan yang memanggil budaknya yang bernama hurrah-, maka apabila ia memanggil istrinya atau - budaknya – di luar pengadilan, maka lafadz yang diucapkan itu tidak berdampak hukum apa-apa, kecuali jika ucapan itu berniat menthalaqnya atau – memerdekakannya – dihadapan pengadilan, apalagi jika disertai dengan sumpah, maka hukumnya bergantung menurut qadhi. A.4. kaidah perubahan hukum yang berkaitan dengan kondisi (ahwal) Kondisi (ahwal) merupakan salahsatu faktor terjadinya perubahan hukum. Kondisi ini dikelompokkan menjadi dua bagian, yakni kondisi yang menyulitkan dan kondisi yang membahayakan[20]. Kaidah yang berkaitan dengan kondisi yang menyulitkan (masyaqat) Masaqat adalah kesulitan yang menghendaki adanya kebutuhan (hajat) tentang sesuatu, akan tetapi jika tidak terpenuhi tidak akan membahayakan eksistensi manusia. Allah sebagai Musyari’ memiliki kekuasaan yang tiada tandingannya, dengan kekuasaan itu, Dia mampu menundukkan ketaatan manusia untuk mengabdi kepadanya. Agar dalam realisasi penghambaan itu tidak terjadi kekeliruan,karena ada anggapan bahwa agama ternyata menyulitkan, maka ia membuat aturan-aturan khusus yang disebut dengan syari’at. Diantara syari’at-Nya, Allah tidak ingin memberikan kesulitan kepada hamba-Nya. Sebagaimana dalam al-Qur’an surat Al-Hajj: 78) ...وما جعل عليكم في الدّين من حرج “Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesulitan” Adapun kaidah yang berkaitan dengan hal ini adalah: المشقّة تجلب التّيسير[21] “Kesulitan mendatangkan kemudahan” Arti dari kaidah ini adalah suatu kesusahan mengharuskan adanya kemudahan. Maksudnya, suatu hukum yang mengandung kesusahan dalam pelaksanaannya atau memadlaratkan dalam pelaksanaannya, baik kepada badan, jiwa, ataupun harta seorang mukallap, diringankan sehingga tidak menyulitkan lagi. Keringanan tersebut dalam Islam disebut dengan istilah Rukhshah.[22] اذا ضاق الامر اتّسع واذا اتّسع الامر ضاق[23] “Apabila suatu perkara itu sempit, maka hukumnya diperluas, dan sebaliknya apabila suatu perkara itu luas, maka hukumya dipersempit.” كلّ ما تجاوز حدّه انعكس الى ضدّه[24] “Semua yang melampaui batas, maka )hukumnya) berbalik kepada kebalikannya” Contoh aplikasi dari kaidah di atas misalnya, Pada dasarnya seorang saksi adalah seorang laki-laki yang terpercaya, namun bila tidak ada laki-laki sama sekali, maka boleh digantikan oleh perempuan atau anak kecil sekalipun. Tetapi jika dalam kondisi yang memungkinkan, maka saksi itu harus laki-laki tidak boleh digantikan oleh yang lain. Menurut A. Djajuli[25], Kesulitan dalam fikih yang membawa kepada kemudahan itu setidaknya ada tujuh macam: Sedang dalam perjalanan (safar)Keadaan Sakit (mardh)Keadaan terpaksa yang membahayakan kelangsungan hidupnya.Lupa (nisyan)Ketidaktahuan (al-jahlu)Kesulitan yangn umum (Umm al-Balwa). Misalnya, kebolehan dokter melihat kepada pasiennya yang bukan muhrim, percikan air dari tanah yang mengenai pakaian.Kekurang mampuan bertindak hukum (al-Naqsh). Al-Masyaqqat itu sendiri bersifat individual. Bagi si A mungkin masyaqqat tetapi bagi si B tidak terasa masyaqqat. Akan tetapi ada standar umum yang sesungguhnya bukan masyaqqat dan karenanya tidak meyebabkan keringanan di dalam pelaksanaan ibadah, seperti terasa berat wudlu pada musim dingin, atau terasa berat shaum pada musim panas, atau merasa berat bagi terpidana dalam menjalankan hukuman. Masyaqqah semacam ini tidak menyebabkan keringanan di dakam ibadah dan dalam keta’atan kepada Allah. Sebab apabila dibolehkan, keringanan dalam masyaqah seperti ini akan menyebabkan hilangnya kemaslahatan ibadah, keta’atan dan menyebabkan lalainya manusia di dalam melaksanakan ibadah.[26] Selanjutnya, A. Djajuli[27] mengutip pendapat Muhammad al-Ruqi, Yang dikehendaki oleh kaidah itu bahwa dalam melaksanakan ibadah kita tidak berlebihan/melampaui batas (ifrath) dan di bawah standar/kurang dari batas (tafrith). Oleh karena itu, para ulama membagi masyaqah ini menjadi tiga tingkatan, yaitu: Al-Masyaqqah al-Azhimah (kesulitan yang sangat berat) seperti kekhawatiran akan hilangnya jiwa atau rusaknya badan. Masyaqqah ini membawa keringanan.Al-Masyaqqah al-Mutawa sithah (kesulitan yang kualitasnya pertengahan, tidak terlalu berat dan tidak terlalu ringan) Masyaqqah semacam ini perlu dipertimbangkan, jika lebih dekat kepada masyaqqah yang sangat berat, maka ada kemudahan. Jika lebih dekat kepada masyaqqah yang ringan, maka tidak ada kemudahan. Inilah yang termasuk masyaqqah yang bersifat individual.Al-Masyaqqah al-Khafifah (kesulitan yang ringan), seperti terasa lapar waktu puasa, terasa cape waktu thawaf dan sa’i, terasa pening waktu ruku dan sujud, dan sebagainya. Masyaqqah semacam ini bisa ditangani dengan mudah , yaitu dengan cara bersabar dalam melaksanakan ibadah. Alasannya kemaslahatan dunia akhirat yang tercermin dalam ibadah tersebut lebih utama daripada masyaqqah yang ringan. Kaidah yang berkaitan dengan kondisi yang membahayakan (dlarurat) Kondisi yang membahayakan (madlarat) adalah kondisi yang sangat menentukan eksistensi manusia, karena jika tidak ditanggulangi akan mengancam agama, jiwa, harta, nasab, serta kehormatan manusia[28]. Kondisi yang seperti itu dapat menghapus hukum yang berlaku. Kaidah umum yang berlaku untuk masalah ini adalah: الضرار يزال[29] “ Kemadlaratan harus dihilangkan” Dasar kaidah di atas adalah firman Allah SWT: ولا تفسدوا في الارض “ Dan janganlah kamu sekalian membuat kerusakan di muka bumi” (Al-A’raf: 55) الضرورة تبيح المحظورة[30] “Kemadlaratan-kemadlaratan itu dapat memperbolehkan keharaman” Dasar kaidah di atas adalah firman Allah SWT: وقد فصّل لكم ما حرّم عليكم الاّ ما اضطررتم اليه “Sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya.” (Al-An’am: 119) Kaidah-kaidah lain yang senada dengan masalah ini adalah: لاحرم مع الضّرورة ولا كراهة مع الحاجة[31] “Tiada keharaman bagi darurat dan tiada kemakruhan bagi kebutuhan.” ما ابيح للضرورة يقدّر بقدرها[32] “Apa yang dibolehkan karena dlarurat, maka diukur menurut kadar kemadlaratannya.’ الاضطرار لا يبطل حقّ الغير[33] “keterpaksaan itu tidak dapat membatalkan hak orang lain” Dari kaidah-kaidah itu bisa difahami bahwa keadaan dlarurat bisa merubah ketentuan hukum. Misalnya: seorang dalam keadaan lapar yang jika tidak makan ia akan mati, kemudian ia menemukan barang yang haram, misalkan daging babi, maka yang diharamkan itu menjadi halal, asal dengan kadar yang sewajarnya. Namun bila jalan satu-satunya adalah mencuri, maka kasus semacam ini tidak diperbolehkan karena pengguguran atas keterpaksaan itu mengganggu hak orang lain. A.5. Kaidah perubahan hukum yang berkenaan dengan manfaat (faidah) Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, maka hukum dapat berlaku fleksibel, artinya hukum itu berlaku tetap dan dapat juga berlaku suatu saat, dengan melihat adanya suatu faidah (kemanfaatan) yang ditimbulkan dari hukum tersebut. Adapun diantara kaidah yang erat kaitannya dengan perubahan hukum karena danya manfaat adalah: المتعدّى افضل من القاصر[34] “Perbuatan yang mencakup kepentingan orang lain, lebih utama daripada yang hanya terbatas untuk kepentingan sendiri.” Suatu perbuatan yang dapat menghasilkan kemanfaatan yang dapat mencukupi orang lain, lebih utama daripada perbuatan yang manfaatnya hanya dapat dirasakan sendiri. Berdasarkan kaidah ini, Maka Abu Hanifah dan Imam Haramaen berpendapat bahwa yang melakukan fardu kifayah itu berarti menghilangkan kesukaran-kesukaran pada ummat. Menurut Imam Asy-Syafi’i mencari ilmu itu lebih utama daripada shalat sunnat, karena mencari ilmu itu akan lebih manfaat kepada orang banyak, sedangkan shalat sunnat manfaatnya hanya untuk dirinya sendiri. Kaidah yang lainnya: درألمفاسد اولا من جلب المصالح فاذا تعارض مفسدة ومسلحة قدّم دفع المفسدة غالبا[35] “Menolak kerusakan itu lebih diutamakan daripada menarik maslahat. Apabila mafsadah dan maslahat berlawanan, maka yang didahulukan adalah menolak mafsadat.” Kaidah lainnya: الحاجة العامّة او الخاصّة تنزل منزلة الضّرورة[36] ”Kebutuhan umum atau khusus dapat menduduki tempat dharurat” Dari kaidah tersebut dapat difahami bahwa perubahan hukum tidak hanya dipengaruhi oleh kesulitan dan kemadlaratan, akan tetapi juga dipengaruhi oleh hajat (kepentingan), baik kepentingan khusus maupun kepentingan umum. PENUTUP Hukum Islam ternyata bersifat elastis, ia meliputi segala bidang lapangan kehidupan manusia. Permasalahan kemanusiaan, meliputi jasmani dan rohani, hubungan sesama makhluk, hubungan baik antara khalik dengan makhluk, serta tuntunan hidup di dunia dan akhirat terkandung dalam ajarannya. Oleh karena itu, hukum Islam menyentuh segala aspek kehidupan manusia dengan tetap tidak meninggalkan kesan hukum Islam sebagai dogma agama yang cenderung kaku, keras dan memaksa. Hal ini terbukti di dalam kitab-kitab klasik yang mencantumkan adanya perubahan-perubahan hukum. Dari berbagai kasus yang ada, kemudian disederhanakan oleh para pakar hukum dengan membuat kaidah-kaidah yang bisa mencakup permasalahan hukum tersebut. Dengan adanya kaidah-kaidah ini diharapkan ulama –ulama penerusnya bisa lebih mudah dalam mengijtihadi berbagai problematika hukum yamg berkembang di masyarakat. DAFTAR PUSTAKA Abdul Hamid Hakim, Al-Sulam, (Jakarta: Sa’diyah Putra, tth) Abi Ishak Al-Syatiby, Al-Muwaafaqat,jilid II, (Mesir, Maktabah al-Tijariyah al-Kubra, tth) Ali Yafie, “Menggagas Fiqih Sosial,” (Bandung: Mizan, 1993) _____ “ Sejarah Fiqih Islam (Surabaya: Risalah Gusti, 1995) Al-Imam Jalaluddin Abdul Rahman al-Suyuti, Al-Asybah wa Al-Nadza’ir, (Indonesia: Maktabah Nur Asia, tth) H.A. Djajuli, Kaidah-Kaidah Fikih, (Jakarta: Kencana, 2006) H.M. Syuhudi Ismail, Hadits Nabi yang Tekstual dan Kontekstual, ( Jakarta: Bulan Bintang, 1994) Hasby Ash-Shidiqy, Dinamika dan Elastisitas Hukum Islam, (Jakarta: Tintamas, 1975) Ibn Qayyim al-Jauziyyah, I’lam al-Muwaqqi’in ‘an Rabb al- ‘Alamin, (Beirut: Dar al-Fikr, tth) Ibn Rusd, Bidayat al-Mujtahid, (Dar al-Kutub al-Islamiah, tt) Imam Musbikin, Qawaid al-Fiqhiyah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,2001) Izzuddin bin Abd al-Salam, Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, (tt: Dar al-Jail, 1980) Juhaya S. Praja,” Pengantar Hukum Islam Indonesia” (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,1981). Muhlish Usman, Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyyah, (Jakarta:Raja Grafindo Persada, 1997) Muhtar Yahya dan Fatchurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqih Islam, (bandung: Al-Ma’arif,1986) N.J. Coulson, Hukum Islam Dalam Persfektif Sejarah, (Jakarta: P3M, 1987) Rahmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: Pustaka Setia, 1999) W. Friedman, “Teori dan Filsafat Hukum,” Susunan: Muhammad Arifin (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996) Wahbah Al-Zuhaili, Nadhariyyat al-Dharuriyat al-Syar’iyyah, (Beirut, Muassasah Risalah, 1982)

[1] Yadi Suban Z.A., Makalah: Disampaikan dalam seminar kelas pasca sarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung Tahun 2007 [2] Lihat: H.M. Syuhudi Ismail, Hadits Nabi yang Tekstual dan Kontekstual, ( Jakarta: Bulan Bintang, 1994), hlm. 3-7 [3] “Al-Nushush qad intaha wa al-waqa’i laa tantahi” Kaidah ini di dengar penulis dari K.H.R. Totoh Abdul Fatah, ketika mengaji di pesantren Al-Jawami yang dipimpin beliau. [4] N.J. Coulson, Hukum Islam Dalam Persfektif Sejarah, (Jakarta: P3M, 1987), hlm. 55 [5] Juhaya S. Praja,” Pengantar Hukum Islam Indonesia” (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,1981). Hukum Islam yang dimaksud disini adalah hukum Islam dalam pengertian yang Umum, yakni merupakan keseluruhan peraturan dan hukum Islam yang bersumber dari Al-Qur’an, Sunnah dan Ijtihad. Hukum Islam dalam pengertian umum ini identik dengan term syari’at. [6] W. Friedman, “Teori dan Filsafat Hukum,” Susunan: Muhammad Arifin (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 17-18. Dalam kaidah fiqhiyah dikatakan: “Berubahnya hukum disesuaikan dengan perubahan zaman, situasi dan kondisi, waktu dan tempatnya”. Pada sisi ini, makna hukum Islam bergeser dari term Syari’at menjadi fiqh. Hukum Islam disebut fiqh, karena fiqih merupakan interpretasi umat Islam terhadap Syari’at dan sekaligus merupakan manifestasi berlakunya hukum Islam dalam kehidupan masyarakat, baik secara individual-personal, komunal maupun institusional. [7] Hasby Ash-Shidiqy, Dinamika dan Elastisitas Hukum Islam, (Jakarta: Tintamas, 1975) hlm. 27 [8] Lihat, Ali Yafie, “Menggagas Fiqih Sosial,” (Bandung: Mizan, 1993) hlm. 112-122. Dalam tulisan ini ia banyak menjelaskan perkembangan pemikiran hukum Islam dalam lingkup kegiatan ijtihad oleh para ulama. [9] Banyak definisi kaidah fiqih yang dirumuskan oleh para ulama ushul, Diantaranya menurut Imam Tajuddin al-Subki, kaidah fikih adalah Suatu perkara yang Kulli yang bersesuaian dengan Juziyyah yang banyak, yang daripadanya diketahui hukum-hukum juziyyah itu (al-Amru al-kulliyu alladzi yanthabiqu ‘alaihi juziyyatunkatsiratun yufhamu ahkaamuha minha). Lihat: Muhlish Usman, Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyyah, (Jakarta:Raja Grafindo Persada, 1997), hlm. 97-98 [10]Lihat: Imam Musbikin, Qawaid al-Fiqhiyah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,2001), hlm.1, 26 [11] Ibn Qayyim al-Jauziyyah, I’lam al-Muwaqqi’in ‘an Rabb al- ‘Alamin, (Beirut: Dar al-Fikr, tt) Juz. III, hlm.3 [12] Al-Imam Jalaluddin Abdul Rahman al-Suyuti, Al-Asybah wa Al-Nadza’ir, (Indonesia: Maktabah Nur Asia, tt) hlm. 6 [13] Mazhab Syafi’i, malik dan Ahmad berpendapat bahwa niat menjadi syarat dari setiap amal. Sedangkan mazhab Abi Hanifah berpendapat bahwa niat bukanlah syarat dari setiap amal. Perbedaan mereka disebabkan karena berbedanya sudut pandang tentang amal yang ma’qula al-makna dan ghair ma’qulat al-makna. Bagi amal yang ghair ma’qulat al-makna mereka sepakat bahwa niat dijadikan sebagai syarat amal, dan pada amal ma’qulat al-makna, niat tidak dijadikan sebagai syarat. Lihat: Ibn Rusd, Bidayat al-Mujtahid, (Dar al-Kutub al-Islamiah, tt) hlm.6 [14]H.A. Djajuli, Kaidah-Kaidah Fikih, (Jakarta: Kencana, 2006), hlm.39 [15] Al-Suyuti, Al Asbah ..., hlm. 101 [16] Ibid [17]Maksudi, Teori-teori perubahan hukum (makalah dalam seminar filsafat hukum Islam) UIN 2003 [18] Al-Suyuti, Al-Ashbah..., hlm. 63 [19] Ibid...,hlm. 32 [20] Lihat: Muhlis Usman, Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyyah, (jakarta, Raja Grapindo Utama, 1997), hlm.123-133 [21] Al-Suyuti, Al-Asybah..., hlm. 55 [22] Rahmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: Pustaka Setia, 1999) hlm. 284 [23] Wahbah Al-Zuhaili, Nadhariyyat al-Dharuriyat al-Syar’iyyah, (Beirut, Muassasah Risalah, 1982), hlm. 221) [24] Ibid [25] H.A. Djajuli, Kaidah..., hlm. 555-56 [26] Izzuddin bin Abd al-Salam, Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, (tt: Dar al-Jail, 1980) hlm. 7 Dalam H.A. Djajuli, Kiadah..., hlm. 57 [27] Ibid, hlm57-58 [28] Imam Musbikin, Qawa’id al-Fiqhiyah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,2001) hlm. 68 [29] Al-Suyuti, Al-Asybah...hlm 59 [30] Al-Zuhaili, Nadlariyyat al-Dharuriyat..., hlm. 225 [31] Abdul Hamid Hakim, Al-Sulam, (Bukit Tinggi: 1958) hlm.81 [32] Al-Suyuti, Al-Asybah..., hlm. 60 [33] Al-Zuhaili, Nadhariyyat..., hlm 259 [34] Al-suyuti, Al-Asybah..., hlm. 99 [35] Ibid, hlm. 62 [36] Al-Zuhaily, Nadhariyyat..., hlm. 261

Read more

About This Blog

Web hosting for webmasters