KAIDAH-KAIDAH FIKIH YANG BERKENAAN DENGAN ELASTISITAS HUKUM ISLAM

I. PENDAHULUAN
Allah SWT mengutus nabi Muhammad saw sebagai tuntunan syari’at bagi manusia dalam menempuh kehidupan dunia dan akhirat. Tuntunan yang diemban Muhammad ternyata berlaku universal, melampaui batas-batas ruang dan waktu. Setiap fenomena yang muncul dari setiap dinamika perilaku manusia baik sosial maupun kultural, ditetapkan hukum dan aturannya dengan tuntunan syari’at yang dibawanya.[2] Pada umumnya, secara pasti dan meyakinkan, berbagai peristiwa dan kejadian yang muncul dan terjadi merupakan sesuatu yang tidak dapat diukur dan dihitung. Sedangkan pada sisi yang lain, tidak semua peristiwa dapat ditetapkan langsung oleh dalil, karena hal itu sulit atau boleh dikatakan tidak mungkin terjadi, atau dengan kata lain dalil-dalil itu mempunyai batas-paling tidak dari segi turunnya- sedangkan peristiwa-peristiwa tidak mempunyai batas -peristiwa senantiasa terjadi dan baru- (Al-Nushush qad intaha wa al-waqa’i laa tantahi) [3] yang tidak terbatas tidak dapat dilingkupi oleh yang terbatas. Jika kenyataannya demikian, maka bisa dipastikan bahwa hukum itu akan senantiasa elastis dan fleksibel, sehingga ia dapat berkembang dan berubah sesuai dengan keadaan dan zamannya. Hal ini sangatlah berbeda dengan apa yang digambarkan orang-orang barat yang membenci Islam dan juga orang-orang Islam sendiri yang menyeleweng dan befikiran sempit, yang memandang Syari’at Islam sebagai sebuah sistem yang telah lapuk dan nanar karena usianya yang telah lanjut.[4] Hal ini bisa dibuktikan dengan menelusuri fakta sejarah peradaban Islam, dimana hukum Islam berkembang sesuai dengan perluasan wilayah Islam serta perkembangan budaya masyarakatnya[5]. Perkembangan hukum Islam itu sendiri berkembang dengan sendirinya. Hal ini disebabkan hukum secara internal berpeluang untuk diinterpretasikan dengan varian-varian dan tingkat yang berbeda-beda, sedangkan secara eksternal perkembangan hukum sangat dipengaruhi oleh situasi dan kondisi masyarakat dimana hukum itu diberlakukan.[6] Hukum Islam juga bersifat elastis, ia meliputi segala bidang lapangan kehidupan manusia. Permasalahan kemanusiaan, meliputi jasmani dan rohani, hubungan sesama makhluk, hubungan baik antara khalik dengan makhluk, serta tuntunan hidup di dunia dan akhirat terkandung dalam ajarannya. Oleh karena itu, hukum Islam menyentuh segala aspek kehidupan manusia dengan tetap tidak meninggalkan kesan hukum Islam sebagai dogma agama yang tidak liar menjauhi makna teks suci. Fakta historis yang telah berlangsung beberapa abad menunjukkan bahwa berlakunya hukum Islam sangat dipengaruhi oleh berubahnya pola fikir para mujtahid, seperti Imam Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali.[7] Berbagai produk ijtihad ulama-ulama tersebut kini banyak mewarnai corak berlakunya hukum Islam di berbagai wilayah Islam. Pada abad ke-3, hukum Islam mulai disistematisir dalam institusionalisasi mazhab-mazhab fiqh. Hal ini dilakukan dengan alasan politis dan sosiologis dimasa kekhalifahan Islam pasca Khulafa al-Rasyidin. Sehingga dalam perkembangan selanjutnya tahap pemikiran hukum Islam cenderung mengikuti apa yang telah berlaku sebelumnya.[8] Selanjutnya, Pada abad keempat berawal dari kecermatan para ulama ahli ushul dalam mengamati dalil-dalil kulli yang terdapat di dalam Nash yang menjelaskan prinsip-prinsip umum pembinaan syari’at, diikuti pengkajian yang mendalam (istiqra) ke arah aspek ‘illat hukum, hikmah syari’ah, rahasia hukum, dan analisis terhadap maqashid syari’ah dalam meletakkan mukallaf di bawah beban hukum(taklif), disusunlah kaidah hukum yang sangat mirip dengan “rumus-rumus fikih” (yang selanjutnya disebut kaidah fiqih[9]) agar dalam pengkajian syari’at senantiasa konsisten (taat asas) mewujudkan kemaslahatan hamba dan mencerminkan hukum adil.[10] Dalam makalah ini, penulis akan membahas tentang kaidah-kaidah yang berkenaan dengan elastisitas hukum Islam yang telah dirumuskan oleh para ulama, baik yang berkenaan dengan adanya perubahan waktu, tempat, kondisi dan niat. II. PEMBAHASAN A. Kaidah Umum tentang elastisitas Hukum Islam Ibn Qayyim al-Jauziyyah[11] memberikan kaidah yang berkaitan dengan perubahan hukum, yaitu: تغيّر الفتوى واختلافها بحسب تغيّر الازمنة والامكنة والاحوال والنّيات والفوائد (والعوائد) “Perubahan dan perbedaan fatwa hukum dapat terjadi karena perubahan waktu (zaman), ruang (tempat), kondisi (ahwal), niat dan manfaat” Kemudian kaidah lainya berbunyi: لاينكر تغيّر الاحكام بتغيّر الازمنة والامكنة “Tidak dipungkiri bahwa perubahan hukum disebabkan perubahan zaman dan tempat.” Dari dua kaidah di atas dengan jelas menyatakan bahwa fatwa hukum tidaklah kaku, akan tetapi ia bisa berubah- elastis dan fleksibel-sesuai dengan perubahan waktu, ruang, kondisi, niat dan manfaat yang ditimbulkan. Dari kaidah ini juga dapat dihasilkan turunan kaidah-kaidah yang lain yang lebih khusus sesuai dengan variabel atau unsur-unsur perubahannya. Selanjutnya penulis mencoba menguraikan kaidah-kaidah turunan yang berkaitan dengan perubahan hukum. A.1. Kaidah perubahan hukum yang berkenaan dengan Niat Kaidah umum yang berkaitan dengan niat: الامور بمقاصدها[12] “Setiap perkara tergantung pada tujuannya” Kaidah tersebut berdasar kepada Nash Al-Qur’an dan Sunnah Nabi ومن يرد ثواب الدّنيا نؤته منها ومن يرد ثواب الاخرة نؤته منها وسنجزى الشّكرين “barang siapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barang siapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat itu. dan Kami akan memberi Balasan kepada orang-orang yang bersyukur.”(Ali Imron: 145) Sabda nabi saw: انّماالاعمال بالنّية وانّما لكلّ امرء ما نوى “Sesungguhnya segala amal tergantung pada niat, dan sesungguhnya bagi seseorang itu hanyalah apa yang ia niatkan” Niat memiliki kedudukan yang sangat penting dalam suatu perbuatan, baik ibadah maupun non ibadah. sehingga muncul perbedaan pendapat dikalangan fuqaha tentang kedudukan niat sebagai syarat dan niat sebagai rukun.[13] Niat seseorang kadang-kadang dapat dilihat dari qarinah-qarinah yang dapat dijadikan alat untuk mengetahui niat. Misalnya seorang pemburu yang menembak binatang buruan di hutan yang ternyata kemudian mengenai manusia pencari kayu. Kategori ini tidak dapat dimasukkan pada pembunuhan sengaja, karena adanya sesuatu yang menjadi penghalang pada penglihatan terhadap binatang buruan tersebut yang mengakibatkan kesalahan. Terdapat banyak kaidah turunan yang berkenaan dengan niat, diantaranya: العبرة في العقود للمقاصد والمعاني لا للالفاظ والمباني[14] “yang dianggap (dipegang) dalam akad adalah maksud-maksud dan maknanya, bukan lafazh-lafadz dan bentuk lafadznya” Dimensi perubahan hukum yang terdapat pada kaidah di atas, misalnya apabila dalam suatu akad terjadi perbedaan antara niat atau maksud si pelaku akad dengan lafadz yang diucapkannya, maka yang harus dianggap adalah niat atau maksudnya, selama yang demikian itu masih diketahui. Oleh karena itu, jika ada dua orang yang mengadakan suatu akad dengan lafadz memberi suatu benda dengan syarat adanya pembayaran harga barang, maka akad itu dipandang sebagai akad jual beli, bukan akad pemberian sebagaimana yang dikehendaki oleh lafadz. A.2. Kaidah hukum yang berkenaan dengan waktu Sebagaimana telah disebutkan pada pembahasan di atas, bahwa perubahan waktu atau zaman merupakan salahsatu faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan hukum. Perubahan ini sesungguhnya berkaitan erat dengan kondisi-kondisi tertentu yang memungkinkan adanya perubahan hukum, misalnya kondisi yang menyulitkan (masyaqat), kondisi berbahaya (dharurat), atau budaya dan kultur (uruf). Diantara kaidah yang berkenaan dengan hal ini adalah: ما كان ممنوعا اذا جاز وجب[15] "Semua yang dilarang apabila diperbolehkan maka menjadi wajib” Dari kaidah itu dapat difahami bahwa sesuatu yang telah diwajibkan, tidak boleh ditinggalkan kecuali adanya sesuatu kewajiban lain yang mengharuskan untuk meninggalkannya. Misalnya memotong tangan pencuri, seandainya tidak wajib tentu hukumnya haram sebab memotong atau melukai adalah tindak pidana.[16] Disinilah nampak dimensi perubahan yang berkaitan dengan zaman dan waktu, dimana hukum dapat berlaku pada suatu ketika dan tidak berlaku pada saat yang lain. Kaidah lain yang berkaitan dengan perubahan hukum dalam dimensi perubahan waktu adalah: انّ الحكم الثّابت الى غاية ينتهى بوجود الغاية ولايبقى بعدها[17] “Sesungguhnya hukum yang berlaku dengan batas-batas tertentu, maka hukum itu berakhir setelah adanya batas akhir hukum, dan tidak ada lagi hukum setelahnya.” Kaidah ini menunjukkan dimensi perubahan hukum pada banyak persoalan, seperti ada kasus yang telah ditegaskan dalam al-Qur’an: وكلوا واشربوا حتّى يتبيّن لكم الخيط الابيض “Dan makan minumlah hingga terang bagimu benag putih” (Q.S. al-Baqarah:187) A.3. kaidah perubahan hukum yang berkaitan dengan ruang (tempat) Tempat atau ruang dapat menempati posisi sebagai salahsatu variabel perubahan hukum. Perubahan hukum karena perubahan tempat sering terjadi, misalnya perubahan hukum yang terdapat pada qaul qadim dan qaul jadid Imam Syafi’i, sebuah perubahan yang dikenal secara luas dikalangan pemerhati hukum. Diantara kaidah yang menunjukkan perubahan hukum karena perbedaan tempat adalah: العادة محكّمة[18] “Adat kebiasaan itu ditetapkan menjadi hukum” Kaidah ini diangkat karena ada kebiasaan erat kaitannya dengan dimensi ruang (tempat) dan waktu (zaman) kaidah ini sesuai dengan nash al-Qur’an dan sunnah, yakni: وأمر بالعرف واعرض عن الجاهلين “Dan suruhlah orang-orang mengerjakan yang ma’ruf serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh” (Al-A’raf:199) مارأه المسلمون حسنا فهو عند الله حسن “Apa yang dipandang baik oleh orang-orang Islam, maka baik pula disisi Allah” (H.R. Ahmad dari ibn Mas’ud) Kaidah lain yang berkenaan dengan perubahan ruang adalah: مقاصد اللفظ على نيّة اللافظ الاّ في موضع واحد وهو اليمين عند القاضى فانّها على نيّة القاضى[19] “ Maksud dari lafadz adalah menurut orang yang mengucapkannya, kecuali dalam satu tempat yakni dalam sumpah dihadapan qadhi (pengadilan). Dalam keadaan demikian, maka maksud lafadz adalah menurut niat qadhi” Kaidah tersebut menunjukkan dimensi perubahan hukum yang berkaitan dengan perubahan tempat, yakni dalam pengadilan. Misalnya: seorang suami memanggil istrinya yang bernama Thaliq- atau seorang tuan yang memanggil budaknya yang bernama hurrah-, maka apabila ia memanggil istrinya atau - budaknya – di luar pengadilan, maka lafadz yang diucapkan itu tidak berdampak hukum apa-apa, kecuali jika ucapan itu berniat menthalaqnya atau – memerdekakannya – dihadapan pengadilan, apalagi jika disertai dengan sumpah, maka hukumnya bergantung menurut qadhi. A.4. kaidah perubahan hukum yang berkaitan dengan kondisi (ahwal) Kondisi (ahwal) merupakan salahsatu faktor terjadinya perubahan hukum. Kondisi ini dikelompokkan menjadi dua bagian, yakni kondisi yang menyulitkan dan kondisi yang membahayakan[20]. Kaidah yang berkaitan dengan kondisi yang menyulitkan (masyaqat) Masaqat adalah kesulitan yang menghendaki adanya kebutuhan (hajat) tentang sesuatu, akan tetapi jika tidak terpenuhi tidak akan membahayakan eksistensi manusia. Allah sebagai Musyari’ memiliki kekuasaan yang tiada tandingannya, dengan kekuasaan itu, Dia mampu menundukkan ketaatan manusia untuk mengabdi kepadanya. Agar dalam realisasi penghambaan itu tidak terjadi kekeliruan,karena ada anggapan bahwa agama ternyata menyulitkan, maka ia membuat aturan-aturan khusus yang disebut dengan syari’at. Diantara syari’at-Nya, Allah tidak ingin memberikan kesulitan kepada hamba-Nya. Sebagaimana dalam al-Qur’an surat Al-Hajj: 78) ...وما جعل عليكم في الدّين من حرج “Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesulitan” Adapun kaidah yang berkaitan dengan hal ini adalah: المشقّة تجلب التّيسير[21] “Kesulitan mendatangkan kemudahan” Arti dari kaidah ini adalah suatu kesusahan mengharuskan adanya kemudahan. Maksudnya, suatu hukum yang mengandung kesusahan dalam pelaksanaannya atau memadlaratkan dalam pelaksanaannya, baik kepada badan, jiwa, ataupun harta seorang mukallap, diringankan sehingga tidak menyulitkan lagi. Keringanan tersebut dalam Islam disebut dengan istilah Rukhshah.[22] اذا ضاق الامر اتّسع واذا اتّسع الامر ضاق[23] “Apabila suatu perkara itu sempit, maka hukumnya diperluas, dan sebaliknya apabila suatu perkara itu luas, maka hukumya dipersempit.” كلّ ما تجاوز حدّه انعكس الى ضدّه[24] “Semua yang melampaui batas, maka )hukumnya) berbalik kepada kebalikannya” Contoh aplikasi dari kaidah di atas misalnya, Pada dasarnya seorang saksi adalah seorang laki-laki yang terpercaya, namun bila tidak ada laki-laki sama sekali, maka boleh digantikan oleh perempuan atau anak kecil sekalipun. Tetapi jika dalam kondisi yang memungkinkan, maka saksi itu harus laki-laki tidak boleh digantikan oleh yang lain. Menurut A. Djajuli[25], Kesulitan dalam fikih yang membawa kepada kemudahan itu setidaknya ada tujuh macam: Sedang dalam perjalanan (safar)Keadaan Sakit (mardh)Keadaan terpaksa yang membahayakan kelangsungan hidupnya.Lupa (nisyan)Ketidaktahuan (al-jahlu)Kesulitan yangn umum (Umm al-Balwa). Misalnya, kebolehan dokter melihat kepada pasiennya yang bukan muhrim, percikan air dari tanah yang mengenai pakaian.Kekurang mampuan bertindak hukum (al-Naqsh). Al-Masyaqqat itu sendiri bersifat individual. Bagi si A mungkin masyaqqat tetapi bagi si B tidak terasa masyaqqat. Akan tetapi ada standar umum yang sesungguhnya bukan masyaqqat dan karenanya tidak meyebabkan keringanan di dalam pelaksanaan ibadah, seperti terasa berat wudlu pada musim dingin, atau terasa berat shaum pada musim panas, atau merasa berat bagi terpidana dalam menjalankan hukuman. Masyaqqah semacam ini tidak menyebabkan keringanan di dakam ibadah dan dalam keta’atan kepada Allah. Sebab apabila dibolehkan, keringanan dalam masyaqah seperti ini akan menyebabkan hilangnya kemaslahatan ibadah, keta’atan dan menyebabkan lalainya manusia di dalam melaksanakan ibadah.[26] Selanjutnya, A. Djajuli[27] mengutip pendapat Muhammad al-Ruqi, Yang dikehendaki oleh kaidah itu bahwa dalam melaksanakan ibadah kita tidak berlebihan/melampaui batas (ifrath) dan di bawah standar/kurang dari batas (tafrith). Oleh karena itu, para ulama membagi masyaqah ini menjadi tiga tingkatan, yaitu: Al-Masyaqqah al-Azhimah (kesulitan yang sangat berat) seperti kekhawatiran akan hilangnya jiwa atau rusaknya badan. Masyaqqah ini membawa keringanan.Al-Masyaqqah al-Mutawa sithah (kesulitan yang kualitasnya pertengahan, tidak terlalu berat dan tidak terlalu ringan) Masyaqqah semacam ini perlu dipertimbangkan, jika lebih dekat kepada masyaqqah yang sangat berat, maka ada kemudahan. Jika lebih dekat kepada masyaqqah yang ringan, maka tidak ada kemudahan. Inilah yang termasuk masyaqqah yang bersifat individual.Al-Masyaqqah al-Khafifah (kesulitan yang ringan), seperti terasa lapar waktu puasa, terasa cape waktu thawaf dan sa’i, terasa pening waktu ruku dan sujud, dan sebagainya. Masyaqqah semacam ini bisa ditangani dengan mudah , yaitu dengan cara bersabar dalam melaksanakan ibadah. Alasannya kemaslahatan dunia akhirat yang tercermin dalam ibadah tersebut lebih utama daripada masyaqqah yang ringan. Kaidah yang berkaitan dengan kondisi yang membahayakan (dlarurat) Kondisi yang membahayakan (madlarat) adalah kondisi yang sangat menentukan eksistensi manusia, karena jika tidak ditanggulangi akan mengancam agama, jiwa, harta, nasab, serta kehormatan manusia[28]. Kondisi yang seperti itu dapat menghapus hukum yang berlaku. Kaidah umum yang berlaku untuk masalah ini adalah: الضرار يزال[29] “ Kemadlaratan harus dihilangkan” Dasar kaidah di atas adalah firman Allah SWT: ولا تفسدوا في الارض “ Dan janganlah kamu sekalian membuat kerusakan di muka bumi” (Al-A’raf: 55) الضرورة تبيح المحظورة[30] “Kemadlaratan-kemadlaratan itu dapat memperbolehkan keharaman” Dasar kaidah di atas adalah firman Allah SWT: وقد فصّل لكم ما حرّم عليكم الاّ ما اضطررتم اليه “Sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya.” (Al-An’am: 119) Kaidah-kaidah lain yang senada dengan masalah ini adalah: لاحرم مع الضّرورة ولا كراهة مع الحاجة[31] “Tiada keharaman bagi darurat dan tiada kemakruhan bagi kebutuhan.” ما ابيح للضرورة يقدّر بقدرها[32] “Apa yang dibolehkan karena dlarurat, maka diukur menurut kadar kemadlaratannya.’ الاضطرار لا يبطل حقّ الغير[33] “keterpaksaan itu tidak dapat membatalkan hak orang lain” Dari kaidah-kaidah itu bisa difahami bahwa keadaan dlarurat bisa merubah ketentuan hukum. Misalnya: seorang dalam keadaan lapar yang jika tidak makan ia akan mati, kemudian ia menemukan barang yang haram, misalkan daging babi, maka yang diharamkan itu menjadi halal, asal dengan kadar yang sewajarnya. Namun bila jalan satu-satunya adalah mencuri, maka kasus semacam ini tidak diperbolehkan karena pengguguran atas keterpaksaan itu mengganggu hak orang lain. A.5. Kaidah perubahan hukum yang berkenaan dengan manfaat (faidah) Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, maka hukum dapat berlaku fleksibel, artinya hukum itu berlaku tetap dan dapat juga berlaku suatu saat, dengan melihat adanya suatu faidah (kemanfaatan) yang ditimbulkan dari hukum tersebut. Adapun diantara kaidah yang erat kaitannya dengan perubahan hukum karena danya manfaat adalah: المتعدّى افضل من القاصر[34] “Perbuatan yang mencakup kepentingan orang lain, lebih utama daripada yang hanya terbatas untuk kepentingan sendiri.” Suatu perbuatan yang dapat menghasilkan kemanfaatan yang dapat mencukupi orang lain, lebih utama daripada perbuatan yang manfaatnya hanya dapat dirasakan sendiri. Berdasarkan kaidah ini, Maka Abu Hanifah dan Imam Haramaen berpendapat bahwa yang melakukan fardu kifayah itu berarti menghilangkan kesukaran-kesukaran pada ummat. Menurut Imam Asy-Syafi’i mencari ilmu itu lebih utama daripada shalat sunnat, karena mencari ilmu itu akan lebih manfaat kepada orang banyak, sedangkan shalat sunnat manfaatnya hanya untuk dirinya sendiri. Kaidah yang lainnya: درألمفاسد اولا من جلب المصالح فاذا تعارض مفسدة ومسلحة قدّم دفع المفسدة غالبا[35] “Menolak kerusakan itu lebih diutamakan daripada menarik maslahat. Apabila mafsadah dan maslahat berlawanan, maka yang didahulukan adalah menolak mafsadat.” Kaidah lainnya: الحاجة العامّة او الخاصّة تنزل منزلة الضّرورة[36] ”Kebutuhan umum atau khusus dapat menduduki tempat dharurat” Dari kaidah tersebut dapat difahami bahwa perubahan hukum tidak hanya dipengaruhi oleh kesulitan dan kemadlaratan, akan tetapi juga dipengaruhi oleh hajat (kepentingan), baik kepentingan khusus maupun kepentingan umum. PENUTUP Hukum Islam ternyata bersifat elastis, ia meliputi segala bidang lapangan kehidupan manusia. Permasalahan kemanusiaan, meliputi jasmani dan rohani, hubungan sesama makhluk, hubungan baik antara khalik dengan makhluk, serta tuntunan hidup di dunia dan akhirat terkandung dalam ajarannya. Oleh karena itu, hukum Islam menyentuh segala aspek kehidupan manusia dengan tetap tidak meninggalkan kesan hukum Islam sebagai dogma agama yang cenderung kaku, keras dan memaksa. Hal ini terbukti di dalam kitab-kitab klasik yang mencantumkan adanya perubahan-perubahan hukum. Dari berbagai kasus yang ada, kemudian disederhanakan oleh para pakar hukum dengan membuat kaidah-kaidah yang bisa mencakup permasalahan hukum tersebut. Dengan adanya kaidah-kaidah ini diharapkan ulama –ulama penerusnya bisa lebih mudah dalam mengijtihadi berbagai problematika hukum yamg berkembang di masyarakat. DAFTAR PUSTAKA Abdul Hamid Hakim, Al-Sulam, (Jakarta: Sa’diyah Putra, tth) Abi Ishak Al-Syatiby, Al-Muwaafaqat,jilid II, (Mesir, Maktabah al-Tijariyah al-Kubra, tth) Ali Yafie, “Menggagas Fiqih Sosial,” (Bandung: Mizan, 1993) _____ “ Sejarah Fiqih Islam (Surabaya: Risalah Gusti, 1995) Al-Imam Jalaluddin Abdul Rahman al-Suyuti, Al-Asybah wa Al-Nadza’ir, (Indonesia: Maktabah Nur Asia, tth) H.A. Djajuli, Kaidah-Kaidah Fikih, (Jakarta: Kencana, 2006) H.M. Syuhudi Ismail, Hadits Nabi yang Tekstual dan Kontekstual, ( Jakarta: Bulan Bintang, 1994) Hasby Ash-Shidiqy, Dinamika dan Elastisitas Hukum Islam, (Jakarta: Tintamas, 1975) Ibn Qayyim al-Jauziyyah, I’lam al-Muwaqqi’in ‘an Rabb al- ‘Alamin, (Beirut: Dar al-Fikr, tth) Ibn Rusd, Bidayat al-Mujtahid, (Dar al-Kutub al-Islamiah, tt) Imam Musbikin, Qawaid al-Fiqhiyah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,2001) Izzuddin bin Abd al-Salam, Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, (tt: Dar al-Jail, 1980) Juhaya S. Praja,” Pengantar Hukum Islam Indonesia” (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,1981). Muhlish Usman, Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyyah, (Jakarta:Raja Grafindo Persada, 1997) Muhtar Yahya dan Fatchurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqih Islam, (bandung: Al-Ma’arif,1986) N.J. Coulson, Hukum Islam Dalam Persfektif Sejarah, (Jakarta: P3M, 1987) Rahmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: Pustaka Setia, 1999) W. Friedman, “Teori dan Filsafat Hukum,” Susunan: Muhammad Arifin (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996) Wahbah Al-Zuhaili, Nadhariyyat al-Dharuriyat al-Syar’iyyah, (Beirut, Muassasah Risalah, 1982)

[1] Yadi Suban Z.A., Makalah: Disampaikan dalam seminar kelas pasca sarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung Tahun 2007 [2] Lihat: H.M. Syuhudi Ismail, Hadits Nabi yang Tekstual dan Kontekstual, ( Jakarta: Bulan Bintang, 1994), hlm. 3-7 [3] “Al-Nushush qad intaha wa al-waqa’i laa tantahi” Kaidah ini di dengar penulis dari K.H.R. Totoh Abdul Fatah, ketika mengaji di pesantren Al-Jawami yang dipimpin beliau. [4] N.J. Coulson, Hukum Islam Dalam Persfektif Sejarah, (Jakarta: P3M, 1987), hlm. 55 [5] Juhaya S. Praja,” Pengantar Hukum Islam Indonesia” (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,1981). Hukum Islam yang dimaksud disini adalah hukum Islam dalam pengertian yang Umum, yakni merupakan keseluruhan peraturan dan hukum Islam yang bersumber dari Al-Qur’an, Sunnah dan Ijtihad. Hukum Islam dalam pengertian umum ini identik dengan term syari’at. [6] W. Friedman, “Teori dan Filsafat Hukum,” Susunan: Muhammad Arifin (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 17-18. Dalam kaidah fiqhiyah dikatakan: “Berubahnya hukum disesuaikan dengan perubahan zaman, situasi dan kondisi, waktu dan tempatnya”. Pada sisi ini, makna hukum Islam bergeser dari term Syari’at menjadi fiqh. Hukum Islam disebut fiqh, karena fiqih merupakan interpretasi umat Islam terhadap Syari’at dan sekaligus merupakan manifestasi berlakunya hukum Islam dalam kehidupan masyarakat, baik secara individual-personal, komunal maupun institusional. [7] Hasby Ash-Shidiqy, Dinamika dan Elastisitas Hukum Islam, (Jakarta: Tintamas, 1975) hlm. 27 [8] Lihat, Ali Yafie, “Menggagas Fiqih Sosial,” (Bandung: Mizan, 1993) hlm. 112-122. Dalam tulisan ini ia banyak menjelaskan perkembangan pemikiran hukum Islam dalam lingkup kegiatan ijtihad oleh para ulama. [9] Banyak definisi kaidah fiqih yang dirumuskan oleh para ulama ushul, Diantaranya menurut Imam Tajuddin al-Subki, kaidah fikih adalah Suatu perkara yang Kulli yang bersesuaian dengan Juziyyah yang banyak, yang daripadanya diketahui hukum-hukum juziyyah itu (al-Amru al-kulliyu alladzi yanthabiqu ‘alaihi juziyyatunkatsiratun yufhamu ahkaamuha minha). Lihat: Muhlish Usman, Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyyah, (Jakarta:Raja Grafindo Persada, 1997), hlm. 97-98 [10]Lihat: Imam Musbikin, Qawaid al-Fiqhiyah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,2001), hlm.1, 26 [11] Ibn Qayyim al-Jauziyyah, I’lam al-Muwaqqi’in ‘an Rabb al- ‘Alamin, (Beirut: Dar al-Fikr, tt) Juz. III, hlm.3 [12] Al-Imam Jalaluddin Abdul Rahman al-Suyuti, Al-Asybah wa Al-Nadza’ir, (Indonesia: Maktabah Nur Asia, tt) hlm. 6 [13] Mazhab Syafi’i, malik dan Ahmad berpendapat bahwa niat menjadi syarat dari setiap amal. Sedangkan mazhab Abi Hanifah berpendapat bahwa niat bukanlah syarat dari setiap amal. Perbedaan mereka disebabkan karena berbedanya sudut pandang tentang amal yang ma’qula al-makna dan ghair ma’qulat al-makna. Bagi amal yang ghair ma’qulat al-makna mereka sepakat bahwa niat dijadikan sebagai syarat amal, dan pada amal ma’qulat al-makna, niat tidak dijadikan sebagai syarat. Lihat: Ibn Rusd, Bidayat al-Mujtahid, (Dar al-Kutub al-Islamiah, tt) hlm.6 [14]H.A. Djajuli, Kaidah-Kaidah Fikih, (Jakarta: Kencana, 2006), hlm.39 [15] Al-Suyuti, Al Asbah ..., hlm. 101 [16] Ibid [17]Maksudi, Teori-teori perubahan hukum (makalah dalam seminar filsafat hukum Islam) UIN 2003 [18] Al-Suyuti, Al-Ashbah..., hlm. 63 [19] Ibid...,hlm. 32 [20] Lihat: Muhlis Usman, Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyyah, (jakarta, Raja Grapindo Utama, 1997), hlm.123-133 [21] Al-Suyuti, Al-Asybah..., hlm. 55 [22] Rahmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: Pustaka Setia, 1999) hlm. 284 [23] Wahbah Al-Zuhaili, Nadhariyyat al-Dharuriyat al-Syar’iyyah, (Beirut, Muassasah Risalah, 1982), hlm. 221) [24] Ibid [25] H.A. Djajuli, Kaidah..., hlm. 555-56 [26] Izzuddin bin Abd al-Salam, Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, (tt: Dar al-Jail, 1980) hlm. 7 Dalam H.A. Djajuli, Kiadah..., hlm. 57 [27] Ibid, hlm57-58 [28] Imam Musbikin, Qawa’id al-Fiqhiyah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,2001) hlm. 68 [29] Al-Suyuti, Al-Asybah...hlm 59 [30] Al-Zuhaili, Nadlariyyat al-Dharuriyat..., hlm. 225 [31] Abdul Hamid Hakim, Al-Sulam, (Bukit Tinggi: 1958) hlm.81 [32] Al-Suyuti, Al-Asybah..., hlm. 60 [33] Al-Zuhaili, Nadhariyyat..., hlm 259 [34] Al-suyuti, Al-Asybah..., hlm. 99 [35] Ibid, hlm. 62 [36] Al-Zuhaily, Nadhariyyat..., hlm. 261

label : accessories external. | Free Wallpapers | Property | Anti Vir | Free Games | car body design | Free Theme

0 komentar to "KAIDAH-KAIDAH FIKIH YANG BERKENAAN DENGAN ELASTISITAS HUKUM ISLAM"

Posting Komentar

About This Blog

Web hosting for webmasters