"Ada Apa dengan Sufi" (Martin Lings)

Judul buku ini merupakan sebuah pertanyaan, yang menandakan adanya minat yang mendalam dan bersifat pencarian terhadap hal-hal yang bernuansa spiritual.. Martin Lings mencoba mengupas tiga pertanyaan : 1). Apa yang diyakini dalam Tasawuf?, 2). Apakah yang mereka arahkan ?. 3). Apakah yang mereka lakukan. Masing-masing dari jawaban ini berangkat dari sisi yang berbeda namun semuanya memuncak pada akar persoalan. Martin Lings mengupas pembahasan ini ke dalam 9 Bab.

Bab. I. Membahas tentang Orisinilitas Tasawuf. Menurutnya Tasawuf adalah sejenis mistisisme, terutama berbicara tentang misteri-misteri kerajaan langit – surgawi.karena itu tidak salah jika dikatakan , menurut bayangan kita, bahwa seorang mistikus adalah ibarat pohon-pohon yang ada dikebun. Pohon-pohon itu adalah jiwa-jiwa, dan salahsatu dari pohon itu adalah seseorang yang telah terbebaskan dalam kehidupan, orang yang telah mencapai maqam tertinggi.Tasawuf merupakan bidang , disiplin, dan ilmu pengetahuan tentang penenggelaman pada gerak surut dari salahsatu gelombang samudra Tuhan dan bergerak bersamanya kembali pada sumbernya yang Abadi dan Tak Terbatas.[1] Dalam hal ini Tasawuf adalah sebuah jalan dan sarana yang menancapkan akar melalui celah sempit dalam kedalaman jiwa menuju medan ruh murni dan merdeka yang membuka diri pada keilahian. Seorang sufi memiliki dua kesadaran , yaitu satu bersifat manusiawi dan satu lagi bersifat ilahi.

Menurut Martin lings, Tasawuf tidak lain adalah mistisisme Islam, yang berarti bahwa ia merupakan pusat dan arus yang paling kuat dari gelombang pasang yang memuat wahyu Islam. Bahkan ia katakan bahwa Tasawuf adalah otentik sekaligus efektual. Dia berbeda dengan orang di dunia barat yang mengatakan bahwa Tasawuf tidak terikat dengan agama tertentu.[2]

Bab.II. Membahas tentang universalitas tasawuf dalam Islam. Penulis buku ini mencontohkannya dengan bangunan-bangunan bersejarah dalam Islam yang memiliki kekhasan dan partikulasi yang sama di berbagai tempat. Penulis katakan bahwa partikulasi dan kekhasan sepenuhnya cocok dengan universalitas.[3] Artinya, universalitas tasawuf tidak berarti menghilangkan sisi kekhususan dan partikulasi. Contoh dari karya seni itu adalah, Masjid di Cordova, Madrasah Agung di Samarkand, Pusara wali Maghribi atau di Turkistan China, Tajmahal di India. Smuanya seolah-olah satu dan cahaya yang sama memancar dari seluruh karya seni ini. Pada saat yang sama, yang demikian merupakan universalitas monumem-monumen agung Islam dimana dengan kehadiran salahsatunya kita merasakan seolah-olah berada di pusat bumi.

Semua mistisisme adalah sama-sama universal dalam pengertian yang lebih luas, karena semua mistisisme menuju kepada Yang Maha Kebenaran. Tetapi ciri-ciri orisinilitas Islam, dan karena ini ciri Tasawuf adalah apa yang disebut universalitas sekunder, yang harus dijelaskan terutama oleh fakta bahwa sebagai wahyu terakhir dari lingkup waktu ini, ia dengan sendirinya merupakan sesuatu rangkuman. Dimana kredo Islam dinyatakan oleh al-Qur’an dengan rukun Iman. [4]Keuniversalan Tasawuf dalam Islam dibuktikan dengan karakter al-Qur’an sebagai wahyu terakhir adalah kadang-kadang ia menjadi transfaran sehingga wahyu pertama bisa menampakan cahayanya pada setiap ayat al-Qur’an. Sedangkan wahyu pertama, yaitu kitab penciptaan, menjadi milik semua orang. Untuk menghormati kitab ini , mukjizat nabi Muhammad-tidak seperti mukjizat Nabi Musa dan nabi Isa-tidak pernah dibiarkan berkuasa di atas panggung. Tidak diragukan lagi, karena aspek universalitas inilah al-Qur’an menyatakan kepada ummat Islam seluruhnya : “ Kami jadikan kalian semua sebagai umat pertengahan,”(Q.S. Al-Baqarah :143) bahkan penulis buku mengatakan bahwa tasawuf Islam sebagai jembatan antara Timur dan Barat .[5]

Bab.III. Jika pada bab I dikatakan bahwa tasawuf merupakan bidang , disiplin, dan ilmu pengetahuan tentang penenggelaman pada gerak surut dari salahsatu gelombang samudra Tuhan, maka pada Bab III ini martin lings mencoba menjelaskan apa sebenarnya gelombang pasang itu? Menurutnya, gelombang pasang itu adalah Kitab Al-qur’an. Kaum sufi berbicara tentang upaya tenggelam (istigraq) dalam ayat-ayat al-Qur’an, yang menurut salahsatu doktrin Islam paling fundamental, merupakan kalimat Tuhan Yang Tak Diciptakan. Al-Qur’an adalah sebuah kitab bagi seluruh masyarakat, bahkan al-Qur’an mencapai aspek ganda dalam cara yang berbeda. Pertama, Al-Qur’an penuh dengan ayat-ayat terbuka yang memang bisa-dan memang harus-diterapkan oleh semua orang beriman terhadap dirinya. Kedua , Al-Qur’an menegaskan dirinya sebagai al-Furqan, yang dapat diartikan “patokan nilai”, perangkat pemilah atau sederhananya”pembeda”. Ciri esensial al-Qur’an adalah pembentukan sebuah hirarki nilai yang dapat berperan sebagai patokan untuk meletakkan segala sesuatu pada tempatnya yang layak dan sebagai dasar umum penarikan kesimpulan. Pada bab ini penulis menyertakan ayat-ayat al-Qur’an yang dijadikan rujukan para sufi.

Bab IV. Pada bab ini, penulis membahas sosok sufi yang ideal, yang sejalan dengan al-Qur’an. Sosok itu tiada lain adalah Muhammad Saw. Menurutnya Muhammad adalah sebuah inkarnasi dari kitab suci yang diwahyukan. Aspek penting dari pararelisme al-Qur’an dengan Muhammad jelas terlihat dalam penetrasinya yang berdaya jangkau jauh, masing-masing mengesankan suatu gelombang daya dorong yang besar, yang mengalir begitu jauh kedaratan. Bukti otentik keberhasilan Muhammad mendalami al-Qur’an adalah adanya peristiwa isra’Mi’raj.

Bagi seorang sufi yang menempuh gelombang Tuhan, selayaknya untuk meneladani prilaku Nabi Muhammad Saw. Adapaun cara lain untuk menyelam dalam hakikat nabi adalah menyebut nama-nama beliau serta lagu-lagu pujian yang disematkan kepada beliau. Tetapi cara lain yang paling lansung dari semuanya adalah menekuni secara khusus atas satu dari sekian banyak nama, zikr Allah, mengingat Allah, dan dengan menjadi seperti beliau, yaitu personifikasi dari segala yang tersirat dalam seluruh nama tersebut.

Bab V. Pada bab ini penulis membahas tentang hati sebagai Pusat jiwa. Dia katakan bahwa hati bisa dianggap sebagai padanan kata ruh (spirit), yang sama-sama memiliki aspek Ilahi sekaligus juga aspek kemakhlukan. Salahsatu simbol agung ruh adalah matahari yang merupakan “hati” jagad kita. Hati bertalian dengan pusat taman tempat tumbuhnya pohon kehidupan dan tempat sumber kehidupan mengalir.

Pada bab ini penulis mencoba membedakan antara keyakinan dan pendirian yang sama-sama berada diruang hati. Ia katakan bahwa pendirian bersifat tidak langsung dan milik pikiran, sebagai hasil dari proses atau olah mental murni seperti argumen. Sementara keyakinan, selamanya bersifat langsung dan milik puncak segitiga. Ia dapat begitu saja menjadi hasil persepsi indrawi. Selanjutnya ia menjelaskan tentang tiga tingkatan keyakinan, Pertama, ilmul yakin (ilmu keyakinan), kedua ainul yakin (Mata keyakinan) dan ketiga haqqul yakin (kebenaran keyakinan). Ilmu adalah keyakinan yang berasal dari mendengar api sebagaimana diceritakan; Mata adalah keyakinan yang timbul karena melihat nyalanya; kebenaran adalah keyakinan yang lahir karena terbakar di dalamnya. Tingkatan terakhir merupakan keluruhan (fana) semua yang lain; sementara peluruhan itu sendiri memberikan realisasi dari sang Identitas Tertinggi. Tingkatan kedua adalah keyakinan yang datang dari pengetahuan hati, karena mata yang melihat adalah hati itu. Adapun ilmu, merupakan suatu pemahaman mental yang telah diangkat ke taraf keyakinan oleh daya-daya intuisi yang mengitari hati. Dan itu merupakan salahsatu diantara fungsi-fungsi doktrin untuk membangkitkan daya-daya ini serta menjadikannya operatif.

Bab VI. Doktrin. Seluruh doktrin berhubungan dengan pikiran. Tetapi doktrin mistik , yang bisa disamakan dengan ilmu yakin merupakan panggilan pada pikiran untuk mentransendensikan dirinya sendiri. Nama Allah merupakan sintesis dari seluruh kebenaran dan karena itu merupakan akar seluruh doktrin, dan ia juga yang menawarkan keyakinan kepada hati dan segenap elemen jiwa yang paling dekat dengan hati, Tetapi sebagai sebuah sintesis, ia tidak bisa menemukan – dalam dirinya sendiri-kebutuhan-kebutuhan pikiran. Agar seluruh intelejensi yang meliputi pikiran bisa ambil bagian di jalan spiritual, nama tersebut seolah-olah mengulurkan tangan pada daya mental, sebuah perluasan dirinya sendiri yang memberi pengetahuan dan keyakinan terhadap daya-daya tersebut- disamping menjadi sintesis- dan yang memiliki aspek analitis dimana daya-daya tersebut dapat bekerja di atasnya. Perluasan nama ini adalah persaksian (syahadah) yang diwahyukan secara ilahiyah bahwa tidak ada tuhan selain Allah (la Ilaaha Illa Allah).

Syahadah tidak hanya membenarkan doktrin ini dengan menyatakan bahwa selama sesuatu itu haq, maka ia bersifat ilahiyah, sehingga tidak ada yang realitas kecuali Realitas. Syahadah ini pun, dalam urutan verbalnya, merentang hirarki lima lipat. Dalam formula “Laa ilaaha illa Allah”, masing-masing dari keempat kata tersebut menyatakan suatu derajat, dan huruf “ha” terakhir adalah Nama Allah yang melambangkan Sang Diri (Huwa). Ini bisa diulas dengan menyatakan, dari sudut pandang spiritual, bahwa kata yang pertama adalah sebagai cahaya kebenaran yang mencampakkan dunia material untuk mengimbangi ilusi bahwa disinilah hakikat dalam derajat tertinggi’ dan untuk berfihak kepada jiwa sebagai rambu bukan di jalur ini. Kata kedua bisa diartikan dengan dunia jiwa-jiwa yang merupakan titik berbahaya dalam hal kemusyrikan. Kata kedua dalam syahadah’ menunjukkan suatu keilahian terpendam yang terletak diantara dua pintu tertutup, satu terkunci dan satu tidak, yaitu antara “tidak” (la’) yang mutlak di satu sisi dan tidak di sisi lain Yang bersyarat (secara harfiah berarti : Jika Tidak) yang sama dengan yang bersyarat , yaitu kata ketiga, yang berarti hati. Hati serta para malaikat, yang merupakan kehadiran ketiga merupakan , sesungguhnya menengahi atas nama jiwa, tetapi kata sambung “tetapi” atau “kecuali”. Kata “illa” ibarat nafas jeda, suatu pelepasan dari belenggu bentuk-bentuk yang beku, seraya menunjukkan jalan menuju penyelesaian terakhir kata keempat, yang menyatakan dua kehadiran tertinggi. Dengan demikian Syahadah merupakan pelindung atau penangkal dalam bimbingan, sebab ia mencegah jiwa dari kekeliruan sementara ia sendiri. Dalam aliran kata-katanya, adalah gerak kompulsif dari keadaan sulit dalam semata kesejatian menuju kedamaian Aktualitas.

Kelima kehadiran Ilahi tidak bertentangan dengan kesatuannya, yaitu kesatuan Wujud, karena selamanya merupakan kehadiran yang sama. Walaupun demikian, dari titik pandang Hakikat Mutlak, kelimaan (fiveness) itu merupakan suatu ilusi sebab dari titik pandang ini jenjang hirarki itu telah tergulung, seperti tergulungnya selembar kertas tulis. Shahadat mengungkapkan kedua titik pandang itu, baik yang relatif maupun yang absolut, dalam substansi asasinya. Huruf-hurufnya terkristalkan ke dalam kata-kata yang bisa disamakan dengan derajat-derajat hirarki yang berbeda.Tetapi, jika kata-kata itu dicairkan ke dalam huruf-huruf yang dikandungnya, kita jumpai bahwa tak ada huruf-huruf selain alif, lam, dan ha. Dan ini merupakan huruf-huruf dalam nama tertinggi.

Nyaris dengan cara yang sama , bahwa kendati pikiran sejauh mungkin harus dikuasai, kebingungan senantiasa mengintai, yang setiap saat siap menyergap. Tidak sebaliknya, karena ada urutan yang mesti diikuti dalam tasawuf: doktrin, pemahaman, kebingungan, pencerahan-benih, batang, kelopak, kembang. Kelopak kebingungan (hayrah) yang tertutup rapat akan terbuka, bila diberi kndisi-kondisi yang tepat, menjadi kembang ketakjuban (tahayyur). Sebagaimana jelas dalam ungkapan Syekh al-Darqawi tentang kebingungan, apa yang dalam pandangan orang yang bingungtampak merupakan akhir pada faktanya adalah pintu terbuka, yang melalui pintu ini bantuan memadai bagi kebutuhannya akan muncul.bantuan yang pertama mesti diharapkan adalah pencerahan dalam bentuk guru spiritual.

Bab VII. Metode. Dalam hadits kudsi dikatakan : “ tak ada yang lebih menyenangkan-Ku, sebagai cara bagi hamba-Ku untuk mendekat kepada-Ku kecuali ibadah yag telah Aku wajibkan atasnya, dan hambaku tak henti-hentinya mendekati Aku dengan amalan-amalan sunnah yang dikehendakinya sendiri, sehingga Aku mencintainya, dan manakala aku mencintainya, aku menjadi pendengarannya yang dengan itu dia mendengar, dan menjadi penglihatannya yang dengan itu ia melihat, dan menjadi tangannya yang dengan itu dia menggenggam, dan menjadi kakinya yang dengan itu dia melangkah”.

Tasawuf secara keseluruhan-aspirasi,amalan, dan dalam beberpa hal bahkan pula doktrinnya-terhimpun dalam hadits ini, yang barangkali lebih sering dikutif para sufi daripada teks manapun selain al-Qur’an.Seperti terlihat dari hadits kudsi ini, amalan-amalan sufi terdiri dari dua macam: ritus-ritus yang diwajibkan kepada semua muslim dan ritus-ritus tambanahn yang bersifat sukarela (sunnah).

Hal pertama yang mesti dilakukan seorang sufi pemula adalah mempelajari dimensi ekstra/dimensi eksoteris yang akan membukakan kedalaman dan ketinggian dari ritus-ritus yang telah ia jalankan. Yakni rukun Islam yang Lima. Diantara amalan lain yang tidak kalah pentingnya yang harus dilakukan sufi adalah puji-pujian dengan nama Allah, pembacaan al-Qur’an, memaknai setiap kewajiban yang dilakukan dalam arti tidak hanya mengedepankan nilai eksoterik akan tetapi nilai esoterisnya harus dimunculkan. Formula puji-pujian ini merupakan suatu ekspresi kebenaran. Fikir dan zikir harus senantiasa ada pada diri seorang sufi.

Amalan-amalan tasawuf memang sepantasnya beragam, agar menjangkau keserbaragaman serta kepelikan jiwa manusia, yang setiap unsurnya harus diisi dengan keikhlasan dalam kedua aspeknya. Ridwan, keridoan, itu saling berkaitan, dan keikhlasan tidak lain daripada ridla sang manusia, yang tanpa itu tidak akan ada Ridwan Ilahi.

Bab VIII. Ekslusivisme Tasawuf. Aspek-aspek tertentu dari struktur Islam sungguh bermanfaat bagi kekhasan –kekhasan yang menjadi tema bab ini. Pembedaan tegas antara yang wajib dan yang sunnah yang dalam beberapa hal sejalan dengan pembedan antara kelompok kanan dan perintis, artinya antara keselamatan dan penyucian, yang menyiratkan pula pembedaan antara tanggngjawab eksoterik dan esoterik. Bagi kalangan mayoritas disediakan suatu syariat minimum yang dirumuskan dengan jelas sebagai ukuran keselamatan, sedang tanggungjawab pada ahli hukum dan ahli kalam terletak dalam wilayah ini. Dengan demikian para mistikus Islami-dan tak pelak lagi sebagain karena inilah, warisan mereka memperoleh kembali ketinggian serta kedalamannya-dibebaskan dari upaya menarik pengikut dan penyampaian ajaran dalam pengertian yang lazim, dan bebas pula untuk menganut-kadang kalau meski tak selalu-suatu titik pijak yang sepenuhnya ekslusif, sedemikian hingga menyatakan :” Hayatilah tasawuf dengan sungguh-sungguh dan mendalam, atau tinggalkanlah ia”

Keekslusifan adalah suatu cara pendalaman, karena menunjuk sebuah teluk yang tak ubahnya menentang manusia untuk menyebranginya. Dan bagi beberapa jiwa, tantangan semacam ini bisa lebih bernilai daripada suatu lapangan pekerjaan. Lagipula, pada umumnya, semakin dimuliakan suatu pendirian, semakin universalia, dan tak dapat diragukan lagi bahwa tersebarnya Islam di berbagai tempat tertentu-di India, misalnya-sebagian berkat pengagungan mistisismenya.

Bab. IX. Sufi Sepanjang Masa. Pada bab ini dibahas perkembangan sufi dari kemunculannya hingga abad modern. Dimulai sejak zaman Nabi, Hadits nabi penuh dengan ajaran-ajaran bersifat mistis yang menunjukan bahwa Muhammad, seperti yang diyakini para Sufi, sesungguhny adalah Syekh Sufi pertama. Menyusul wafatnya Nabi, para pewaris spiritualnya tetap berpegang teguh pada kesatuan sehingga zaman itu, kurun terbaik dalam zaman Nabi sendiri. Dengan teladan beliau yang masih segar dalam ingatan mereka, mau tidak mau mereka harus menerapkan pada diri mereka sendiri perintah al-Qur’an:”Rendahkanlah hatimu terhadap pengikut-pengikutmu yang beriman.” Generasi selanjutnya adalah para sahabat nabi yang tekenal dengan khulafaussaridin.

Sepeninggal keempat khalifah Rashidah ini, kekhalifahan menjadi urusan dinasty belaka, dan khalifah tetap memegang otoritas spiritual namun tidak lebih dari sekedar nama, sedang hakikatnya mulai pecah belah diantara hukum (faqih) , ahli kalam (mutakallimun) dan ahli Mistik (sufi), masing-masing dalam wilayahnya sendiri.

Seorang tokoh terkemuka kurun ini adalah Hasan Al-Bashri diteruskan oleh Habib al-‘Ajmi dari persia. Generasi selanjutnya adalah Rabi’ah al-Adawiyah dengan konsep Mahabbahnya. Al-Junaid, Abu Yazid al-Bustami, Ibn ‘Arabi, Alghazali, al-Hallaj, dll.

Banyak diantara para syekh yang membentuk jalinan –jalinan dari salahsatu rantai spiritual, yang terbentang dari abad XVIII hingga abad XIV dan sebelumnya , telah meninggalkan berbagai tulisan yang hanya terdapat dalam sejumlah kecil naskah, dan sejauh ini tak dikenal para sarjana Barat. Namun ada Isyarat-isyarat bahwa kini berbagai upaya dilancarkan di Timur maupun Barat untuk menggali kembali sebagian warisan ini.



[1] Martin Lings, Ada Apa Dengan Sufi, hlm .3

[2] Ibid hlm. 9

[3] Ibid, hlm. 13-14

[4] Ibid, hlm 19.

[5] Ibid, hlm.20

label : accessories external. | Free Wallpapers | Property | Anti Vir | Free Games | car body design | Free Theme

0 komentar to ""Ada Apa dengan Sufi" (Martin Lings)"

Posting Komentar

About This Blog

Web hosting for webmasters